[Review] Galih & Ratna: Membawa Problem Klasik di Era Millenial


Pada 1979, dunia perfilman nasional digemparkan oleh Arizal, sutrada yang pernah memboyong Piala Citra untuk Film Anak Terbaik FFI 1974. Arizal bersama produser Tommy Indra menghadirkan film adaptasi novel megabest-seller kala itu karya Eddy D. Iskandar, Gita Cinta dari SMA, yang akhirnya didapuk sebagai penulis skenario untuk filmnya yang berjudul sama, Gita Cinta dari SMA (1979). Film ini berhasil masuk 3 besar box office bioskop Jakarta tahun 1979, dan mengorbitkan nama Rano Karno yang pada 1974 meraih Piala Citra untuk pemeran anak terbaik dalam film Rio Anakku (1973), dan aktris belia Yessy Gusman. Meskipun sebenarnya mereka sudah pernah dipasangkan dalam film Romi dan Juli (1974) yang mengisahkan romantika anak SMP, namun film Gita Cinta dari SMA ini yang benar-benar melambungkan nama mereka. Meskipun gagal menembus ajang Festival Film Indonesia dan meraih Piala Citra, kesuksesan secara komersil film Gita Cinta dari SMA melahirkan tokoh fiksi yang melegenda sampai generasi saat ini, yang dikenal dnegan kisah cinta masa SMA-nya yang harus berakhir tragis, Galih dan Ratna. Berbagai sinema elektronik, ftv dan drama musikal yang mengangkat kisah Galih dan Ratna dibuat.

Termasuk pada tahun 2017, yang mana kisah yang telah berlalu 38 tahun yang lalu itu menarik perhatian sutradara muda Lucky Koeswandi, yang meriah Piala Citra FFI 2015 untuk film pendek terbaik dan sempat dinominasikan untuk menjadi Sutradara Terbaik FFI 2014. Berangkat dari rasa tertarik itu Lucky bersiap untuk mereka ulang film ini dengan menggaet aktor pendatang baru Refal Hadi, dan peraih Piala Maya tahun 2016 untuk kategori Pendatang Baru Wanita terpilih, Sheryl Sheinafia lewat film Single (2015).

Film Galih & Ratna (2017) menjadi jawabannya. Dengan ramuan kisah cinta dalam film pedahulunya yang dirilis pada era yang berbeda, Lucky berusaha membawa suasana yang sama ke era millenial yang hiruk pikuk. Kali ini Lucky berhasil sukses membawa suasana, alur, bahkan aura jaman-jaman dekade 70-80an hadir diantara kehidupan millenial. Alur film ini terasa begitu cepat dan awkward pada bagian awal film ini diputar yang meniba-nibakan kepindahan Ratna, pertemuan Galih dan Ratna, hingga ces! , akhirnya mereka berpacaran. Akting Refal sebagai sebagai Galih dan Sheryl sebagai Ratna juga belum terlalu bisa dinikmati. Padahal scene-scene awal sangat menentukan mood penonton untuk melanjutkan menonton film ini. 

Beruntungnya, itu hanya terjadi selama sekitar 20 menit di awal film. Selanjutnya, ketika alur mulai diperlambat dan berbagai intrik konflik mulai muncul, film ini terasa begitu artsy dan klasik. Penonton mulai dibuat sadar bahwa musik-musik yang menjadi latar belakang adalah musik-musik dengan instruman dekade klasik. Atau soal latar belakang kehidupan Galih dan Ratna yang juga sangat klasik, tapi masih realistis untuk terjadi di era millenial. Lucky tidak sekonyong-konyong menghadirkan dongeng perjodohan atau kisah cinta terlarang karena keluarga yang masih percaya mitos leluhur seperti film pendahulunya. Meski dengan inti cerita yang sama, masalah yang dihadapi baik Galih maupun Ratna, juga cara mereka menyelesaikannya, benar-benar terasa millenial, yang diwarnai idealisme dan keberanian mengemukakan pendapat kepada orang tua, yang mungkin kecil kemungkinan untuk dilakukan Galih dan Ratna di tahun 1979, walaupun sama-sama tidak berakhir bahagia.

Lucky cukup berhasil menghadirkan Bogor secara klasik dalam film ini, dengan suasana yang damai namun ramai. Meskipun ada beberapa angle dan zooming dalam pengambilan gambar yang mengganggu dan kurang tepat dalam film ini, seperti saat Galih duduk setelah berlari keliling lapangan yang tiba-tiba kamera bergeser, atau pengambilan gambar secara following saat Galih dan Ratna berjalan keliling kota Bogor yang terasa sangat kurang smooth bila dibandingkan teknik serupa pada AADC2, namun secara keseluruhan sinematografi film ini aman. 

Mungkin film ini agaknya sulit untuk sekedar menembus nominasi Film terbaik atau Pengarah Sinematografi Terbaik FFI, tapi tidak mustahil bagi Galih dan Ratna ini untuk memperebutkan Pengarah Musik Terbaik FFI atau bahkan Lagu Tema Terbaik. Musik-musik klasik asli dan cover yang dihadirkan mengiringi film ini dengan sempurna, bahkan sampai ke scene paling akhir, yang turut menjadi bukti pendukung bahwa alur film ini sengaja dibuat oleh Lucky dengan ceritanya sendiri, yang berbeda dengan Gita Cinta dari SMA. Tata Artistik film ini juga sangat cantik dan tepat apabila menengok kisahnya yang sangat klise di tengah-tengah kehidupan remaja era millenial.

Sementara Refal, terasa sedikit 'cengeng dan lemah' dalam film ini, entah itu bagian dari karakter yang ingin dibangun Lucky atau sebuah kegagalan. Tapi itu tidak terlalu menggangggu. Satu-satunya yang sedikit mengusik kita mungkin sejak trailer film ini dirilis adalah perawakan Refal yang terasa kurang sempurna sebagai seorang siswa SMA. Sementara Sheryl cukup cemerlang dalam menggambarkan remaja perempuan millenial yang mudah merubah tempramen dan mood-nya.  Sheryl memang sudah mencuri perhatian sejak film Koala Kumal (2016). Penampulan bernyanyinya tentu tak perlu diragukan. Satu yang disayangkan adalah kehadiran Rano Karno dan Yessy Gusman dalam film yang ternyata bukan sebagai salah satu pemeran dalam alur ceritanya. Tapi sekali lagi, itu juga tidak terlalu mengganggu setelah anda mencapai menit-menit krusial yang penuh klimaks dalam film ini.

Overall, film ini cukup berhasil untuk menghadirkan kembali Galih dan Ratna beserta problematika era 70-80an yang mungkin terjadi dalam kehidupan remaja era millenial, dan film ini juga cukup terindikasi untuk menjadi salah satu box office indonesia 2017 dengan keunikan alur ceritanya tersebut. Goodjob and goodluck for 360 Synergy Production👍👏


Rates for Galih & Ratna (2017): ☆☆☆☆☆☆☆☆★★ (8 of 10)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.