[Review] Ayat-Ayat Cinta 2: Kesalahan yang Tertutup Cinta
Pasti banyak yang tak tahu, bahwa sebenarnya Habiburrahman sudah merilis kisah Ayat-Ayat Cinta 2 lewat kolom cerita bersambung pada surat kabar Republika. Semua menjadi sedikit lebih happening saat Habiburrahman merilis novelnya pada 2015 lalu. Para pemburu novel tentu menyambut dengan atensi maksimum sekuel dari kisah fenomenal ini. Tak butuh waktu bagi Manooj Punjabi bersama MD Pictures (production house hang sebelumnya menggarap Ayat-Ayat Cinta) untuk kembali mengangkat kisah ini ke layar bioskop. Sebagai pembaca novelnya, tentu saya menaruh harapan besar bahwa film ini akan memberi kejutan besar seperti pendahulunya.
Benar saja, kejutan pertama yang saya dapat adalah tidak hadirnya Hanung Bramantyo (Sutradara Ayat-Ayat Cinta) dalam produksi kali ini. Adalah Guntur Soehardjanto yang didapuk menjadi sosok di kursi sutradara. Tak asa kejelasan alasan, kenapa Hanung tak kembali memimpin. Padahal, tahun 2016 Hanung masih bekerjasama dengan baik bersama MD dan menghasilkan Rudy Habibie yang menuai banyak kritik positif. Tapi tak apa, toh AADC2 juga tetap mulus tanpa Rudi Soejarwo, ye kan?
MD Pictures terus mengkoyak-koyak rasa penasaran calon penonton dengan merilis nama-nama artisnya satu persatu. Bagi pembaca novelnya, tentu ini suatu poin penting, karena AAC 2 didominasi begitu banyak karakter baru. Chelsea Islam sebagai Keira, Fedi Nuril tetap sebagai Fahri, Tatjana Saphira sebagai Hulya dan Dewi Sandra sebagai Sabina. Mereka yang paham betul kisah Fahri tapi belum membaca novel AAC2 tentu akan bergidik, kemana Aisha? Tentu saja. Aisha adalah trigger-nya. Kunci kesuksesan film ini adalah bagaimana nantinya akan menghadirkan Aisha.
MD Pictures menghadirkan dengan baik efek khusus pada scene pembuka sebelum kisah dalam film ini dimulai. Tata artistik juga bergerak total dalam film ini, misalnya interior rumah Fahri di Edinburgh yang mewah dan klasik dan katanya adalah set yang dibangun di Jakarta. Kekalutan di Palestina juga berhasil digambarkan dengan cukup epic dan berhasil.
Sinematografinya tampil fifty-fifty. Sebagai sebuah film yang kali ini benar-benar tayang di luar negeri, seharusnya lebih banyak gambar cantik yang dapat diambil, karena setting yang sudah mendukung. Sayangnya AAC2 kurang berhasil mendapatkannya, meskipun tetap membuat penonton-atau saya-mendadak ingin menyambangi Skotlandia.
Satu yang penting dan gila dari film ini adalah skoring musik dan lagu yang mengiringi sepanjang film. Coba deh analisis dengan baik, Rossa, KD, Raisa dan Isyana? Bahkan konser ulang tahun stasiun tv pun sulit megumpulkan penyanyi-penyanyi lintas generasi itu. Dalam hal totalitas, MD memang layak dapat 4 jempol. Lirik, musik dari masing-masing lagu yang dibawakan keempat diva itu memang baik dan nyaris sempurna.
Namun, sekali lagi tujuan musik pada film adalah sebuah penyempurna, maka skoring pada AAC2 dapat dikatakan tidak berhasil menyempurnakan, namun juga bukan sebuah akibat kegagalan. Kecuali memang pada scene di mana lagu Bulan Dikekang Malam berdengung, Rossa mengulang kesuksesannya pada AAC. Penyebab ketidak berhasilan ini adalah terlalu banyak suara yang berbeda yang mengiringi berjalannya film ini (di mana penyanyi memilih karakter suara yang berbeda) yang kemudian terasa sangat mengganggu. Selain itu, pemasangan lagu dengan scene juga terasa kurang menyatu, tak lebih sebagai sebuah tempelan. Sungguh disayangkan bahwa budget yang tentunya gak selow ini tidak begitu menyempurnakan filmnya.
Selanjutnya adalah komponen paling penting dari film ini yaitu alur cerita dan pemeran. Dapat saya katakan, alur pada film AAC2 sudah cukup banyak berbeda dari novelnya. Bila orang-orang mengatakan bahwa perubahan alur dilakukan sebagai penyesuaian dari kisah literal menjadi audio visual, maka saya rasa AAC2 benar-benar gagal. Saat menonton film ini untuk pertama kalinya, banyak plot yang terasa mengganggu, atau bahkan merusak kisah aslinya. Bisa-bisanya kesan yang muncul dari Hulya adalah wanita yang hendak merebut suami sepupunya yang gundah gulana karena isterinya hilang entah ke mana. Entah itu adalah konsep dari Guntur, atau karena Tatjana terlalu cantik:( Masih dengan Hulya, satu hal lagi yang tidak masuk akal, Fahri menikahi wanita yang belum menutup aurat. Sangat tidak make sense seorang laki-laki malaikat yang menjaga hatinya untuk istrinya selama bertahun-tahun jatuh di medan pertandingan oleh seorang wanita tidak berkerudung. Padahal dalam novel, Hulya adalah tokoh yang berkerudung dan digambarkan nyaris sama alimnya dengan Aisha.
Lanjut ke tokoh penting selanjutnya adalah Sabina yang diperankan Dewi Sandra. Saya peringatkan bagian review selanjutnya akan mengandung spoiler-spoiler tak tertahankan. Ini adalah letak kesalahan terbesar dalam film ini. Bukan soal Dewi yang cukup sukses memerankan sosok Sabina yang misterius, tapi adalah.. Aisha yang dulu bukanlah yang seksrang! Sampai ke bagian tengah akhir cerita, semuanya berjalan well bagi saya (dan mungkin pembaca novel lainnya) dengan tampilnya Dewi Sandra sebagai Sabina. Suara serak khas Dewi Sandra, wajah yang rusak pada bagian kiri, cadar, serta postur yang jelas berbeda dengan Rianti Cartwright, Aisha yang dulu. Sangat logis bagi Fahri untuk tidak menyadari bahwa Sabina adalah.... dor.
Tapi, ketika melihat foto di dinding kamar Fahri yang menampakkan sosok Fedi dan Dewi Sandra dengan cadar, langsung saja pasti semua orang bergidik bahwa Fahri adalah orang paling koplo sedunia. Bukan buta, tapi mungkin lebih ke arah amnesia lupa perawakan istrinya sendiri. Jelas-jelas perbedaan Aisha di foto dan Sabina adalah tidak ada, kecuali tidak punya alis kiri. Jadi cukup koplo untuk Fahri, dan semua orang-orang di dalam film termasuk Hulya yang mana sepupunya sendiri. Memang sih ketutup cadar, tapi kan.. Ah speechless saya. Mungkin memang mereka semua amnesia.
Selebihnya adalah rata-rata air. Termasuk permainan akting Fedi yang, ya, memang begitu sejak perannya dalam Surga Yang Tak Dirindukan. Chelsea bermain cukup baik sebagai Keira, termasuk saat minta dinikahi. Sini sini, sama om aja. Panji, sebagai Hulusi, asisten sekaligus sahabat Fahri dari Turki, hanya melakukan satu kesalahan. Yaitu wajahnya yang gaada satu titikpun wajah Timur-Tengah.
AAC2 juga gagal menghadirkan debat Oxford yang seharusnya fenomenal. Dalam film yang tampak hanya sebuah forum duel geng Fahri, melawan Geng Baruch, cucu Nenek Catherina. Adegan pemasangan wajah Hulya ke wayah Sabina. Mereka literally memasangkan wajah Tatjana ke wajah Dewi Sandra:( Andai semua ini nyata maka niscaya akan ada banyak Tatjana dan dunia akan begitu indah! Entah konsep MD ini untuk memunculkan kontroversi dan bagian dari marketing atau bagaimana, tapi sangat aneh saat melihat potongan cetakan wajah Hulya diletakkan begitu saja, lalu dipasang ke Sabina. Woi, tolong.
Beruntungnya, semua kesalahan-kesalahan itu tertutup dengan amanat mulia film ini, semangat Cinta sesama manusia, semangat toleransi dan semangat tolong-menolong yang bukan main berhasil membuat penonton menganggap Fahri adalah sosok fiktif yang diciptakan terlalu berlebihan. Tapi, begitulah kita seharusnya. Bila memang terdengar seperti takhayul, maka paling tidak kita berupaya untuk menerapkannya sesuai batas kemampuan kita.

Leave a Comment