[Review] Wiro Sableng: Alur Cespleng, CGI Sableng
Selamat pagi, Jakarta!
Pagi ini, daya baru pulang dari nonton Wiro Sableng 212 (212 Warrior) yang diproduksi Lifelike Pictures bersama 20th Fox Century International. Satu yang paling membekas adalah nama raja Kamandaka. Nama itu juga dipakai nama kereta Semarang-Purwokerto yang sering saya naiki saat pulang kampung.
Kembali bicara soal film ini, jujur, saya tidak mengenal baik tokoh-tokoh dan cerita yang dulu ditawarkan pada versi novel cerita bergambar atau serial televisinya. Sama sekali. Jadi, kacamata yang saya gunakan selama menonton film ini adalah kacamata orang yang asing dengan Wiro Sableng, hanya mengenal namanya, tak tau kisah sebenarnya.
Mari kita mulai.
Sejak awal film ini diputar, atau bahkan sejak trailer beredar, jelas sekali film ini hendak menjual sisi tata efek khusus. Serbuan efek animasi dan latar yang sepenuhnya memanfaatkan CGI di beberapa bagian cuplikan trailernya cukup menimbulkan implikasi ke arah perbincangan. Sebagian memuji ala kadarnya, sebagian menghujat sekenanya. Yang terpenting bagi marketing adalah perbincangannya. Walhasil, belum sampai dua minggu penayangan, sudah ada 1,2 juta tiket terjual. Kembali lagi ke garis waktu saat film ini mulai diputar, paparan efek khusus yang bejibun menyambut penuh suka cita. Tidak buruk sama sekali, tapi berlebihan bila saya mengatakan bagus sekali. Yang lebih penting, penonton akan langsung disambut dengan alur yang menegangkan. Set Desa Jatiwalu paling tidak mulai membesitkan pujian untuk tata artistik film ini, meskipun bukan yang terbaik yang pernah dibangun. Adegan perkelahian di pembuka film juga menampilkan keseriusan Angga Dwimas Sasongko dengan menampilkan adegan perkelahian ala persilatan yang cukup jelas terekam kamera gerakan demi gerakannya. Bila dibutuhkan bahan komparasi, Rahmat Syaiful mengambil sinematografi yang enak dinikmati dalam hampir semua scene perkelahian, tidak seperti Pendekar Tongkat Emas (2014) yang juga mengangkat tema persilatan namun banyak gagal memuaskan penonton di adegan berkelahi.
![]() |
Mari kita mulai.
Sejak awal film ini diputar, atau bahkan sejak trailer beredar, jelas sekali film ini hendak menjual sisi tata efek khusus. Serbuan efek animasi dan latar yang sepenuhnya memanfaatkan CGI di beberapa bagian cuplikan trailernya cukup menimbulkan implikasi ke arah perbincangan. Sebagian memuji ala kadarnya, sebagian menghujat sekenanya. Yang terpenting bagi marketing adalah perbincangannya. Walhasil, belum sampai dua minggu penayangan, sudah ada 1,2 juta tiket terjual. Kembali lagi ke garis waktu saat film ini mulai diputar, paparan efek khusus yang bejibun menyambut penuh suka cita. Tidak buruk sama sekali, tapi berlebihan bila saya mengatakan bagus sekali. Yang lebih penting, penonton akan langsung disambut dengan alur yang menegangkan. Set Desa Jatiwalu paling tidak mulai membesitkan pujian untuk tata artistik film ini, meskipun bukan yang terbaik yang pernah dibangun. Adegan perkelahian di pembuka film juga menampilkan keseriusan Angga Dwimas Sasongko dengan menampilkan adegan perkelahian ala persilatan yang cukup jelas terekam kamera gerakan demi gerakannya. Bila dibutuhkan bahan komparasi, Rahmat Syaiful mengambil sinematografi yang enak dinikmati dalam hampir semua scene perkelahian, tidak seperti Pendekar Tongkat Emas (2014) yang juga mengangkat tema persilatan namun banyak gagal memuaskan penonton di adegan berkelahi.
Pembangunan latar belakang pada naskah Sheila Timothy, Tumpal Tampubolon, dan Seno Gumira layak sekali dinikmati. Menggamblangkan kepada penikmat baru Wiro Sableng seperti saya tentang bagaimana kisah ini dimulai bukan suatu yang mudah, terutama dalam genre semacam ini. Sialnya, saya yang memang tidak mengenal dunia dalam film ini merasa terganggu dengan kehadiran tokoh-tokoh yang mungkin sengaja ditampilkan secuil, tanpa kejelasan, bahkan beberapa tetapi menjadi penentu alur Satu yang paling jelas adalah Bidadari Angin Timur yang sangat dipaksakan muncul dalam film, yang mungkin tujuannya untuk memenuhi hasrat para pecinta Wiro dan tahu betul siapa Bidadari Angin Timur tanpa perlu dijelaskan. Sementara saya? Ini siapa maksudnya apa dan kenapa tiba-tiba bisa menyelamatkan dunia? Atau ini yang disebut imajinasi perfilman? Banyak hal yang dipaksa masuk di akal, tetapi sebenarnya penuh tanda tanya.
Beruntungnya, diluar plothole dan cerita yang punya subklimaks-subklimasks jelas tertebak, film ini membentuk meander yang tetap enak untuk tidak dilewatkan, meliuk-liuk tetapi masih bisa diikuti arusnya tanpa ada keinginan memotong jalan pintas saking bosannya. Meskipun banyak sekali scene perlu penjelasan yang sebenarnya bisa saja untuk tidak ditampilkan dan menggantinya dengan plot lain yang lebih bermanfaat dalam menyusun benang merah, alur film ini sangat enak dinikmati. Sifat fiksi yang antah-berantah memberi keleluasaan pada pembuat cerita untuk menghadirkan apa saja yang memantik keseruan dalam film. Meskipun beberapa adegan pertarungan melewati titik jenuh--alias kelamaan, garis alur tak pernah dibuat hilang dari ingatan jangka pendek penonton. Tepuk dada dua kali untuk Alm. Bastian Tito. Tetapi lagi-lagi disayangkan, dialog dalam skenario juga terasa simpang siur. Beberapa kosakata yang dipilih adalah kosakata era saat ini yang terasa tidak menyatu dengan bagian lain paa film yang mempergunakan dialog kolosal. Tujuannya jelas karena beberapa lawakan dan dialog penting dalam film ini mengambil dari fenomena yang sedang ramai di era sekarang, tapi tetap saja baiknya kelas dialog yang digunakan adalah konstan.
Beruntungnya, diluar plothole dan cerita yang punya subklimaks-subklimasks jelas tertebak, film ini membentuk meander yang tetap enak untuk tidak dilewatkan, meliuk-liuk tetapi masih bisa diikuti arusnya tanpa ada keinginan memotong jalan pintas saking bosannya. Meskipun banyak sekali scene perlu penjelasan yang sebenarnya bisa saja untuk tidak ditampilkan dan menggantinya dengan plot lain yang lebih bermanfaat dalam menyusun benang merah, alur film ini sangat enak dinikmati. Sifat fiksi yang antah-berantah memberi keleluasaan pada pembuat cerita untuk menghadirkan apa saja yang memantik keseruan dalam film. Meskipun beberapa adegan pertarungan melewati titik jenuh--alias kelamaan, garis alur tak pernah dibuat hilang dari ingatan jangka pendek penonton. Tepuk dada dua kali untuk Alm. Bastian Tito. Tetapi lagi-lagi disayangkan, dialog dalam skenario juga terasa simpang siur. Beberapa kosakata yang dipilih adalah kosakata era saat ini yang terasa tidak menyatu dengan bagian lain paa film yang mempergunakan dialog kolosal. Tujuannya jelas karena beberapa lawakan dan dialog penting dalam film ini mengambil dari fenomena yang sedang ramai di era sekarang, tapi tetap saja baiknya kelas dialog yang digunakan adalah konstan.
Segi pemeranan, Vino G Bastian berperan sangat baik. 5 kali dinominasikan di kategori pemeran utama pria terbaik FFI, tentu bukan hal yang sulit untuk berperan sebagai Wiro Sableng. Pendatang abru yang tampil dalam film ini juga menambah proporsi kebagusan film. Terutama Ruth Marini, si nenek Sinto Gendheng yang sebenarnya juga tertolong skenario yang digarap lumayan baik pada bagian-bagian kemunculannya. Satu yang disayangkan adalah Sherina sebagai Anggini. Kehadiran Sherina lagi di layar bioskop setelah belasan tahun semenjak Petualangan Sherina (2001) tentu membuat banyak orang penasaran dan menempatkan antusiasme pada tingkat tertinggi. Tidak dapat dikatan buruk tentu saja, upaya dan totalitas Sherina masih terlihat dalam setiap geliatnya dalam film, geliat Sherina kecil yang berusaha kabur dari penculik. Dwi Sasono kali ini tampil sempurna. Dia menghapus image pelawak konyol yang nempel di wajahnya saat dia sedang berakting serius, seperti pada Critical Eleven (2017). Tapi di Wiro Sableng, dia menguliti dengan baik sisa citra yang ada. Dia memerankan Raja Kamandaka dengan baik dan menolong standar film ini juga. Selebihnya, saya kira semuanya bermain rata-rata air, kecuali karena memang tertolong jatah peran yang meluluhkan hati penonton seperti Marsha Timothy.
Skoring musik dan penata suara film ini juara! Saya yakin sejauh ini Wiro Sableng layak mendapat porsi nominasi di FFI untuk dua kategori ini. Beberapa bagian tata suara bahkan menjelaskan adegan dengan baik, yang bila saja suara itu dihilangkan, akan ada banyak pesan yang tidak sampai ke penonton. Aria Prayogi juga menata setiap musik latar belakang dengan rapi dan mendukung. Sayangnya, tata efek khusus film ini sangat jatuh di bawah target orang-orang. Tetapi patut diakui, efek khusus animasi yang mendukung adegan-adegan jurus dan pertarungan sangat nice dan sulit ditemui di film Indonesia lainnya. Tapi film ini sangat punya alasan untuk dihujat netizen, terutama pada latar yang menggunakan CGI, yang kebanyakan menjadi latar pertarungan. Keputusan yang sangat kurang bijaksana untuk menampilkan adegan pertarungan yang penuh pergantian perspektif gambar dan pergerakan kamera ini dengan bantuan greenscreen dan memasang background-nya dengan gambar atau video efek khusus. Adegan paling gagal adalah pertemuan Wiro, Anggini dan Bujang Suci di atas pohon di tepi sebuah jurang. Saat memasuki adegan trsebut, sungguh Saya merasa sedang menonton drama seri penuh kearifan lokal di salah satu saluran TV Nasional. Editan tidak selaras antara gambar objek yang penuh pergerakan dan gambar latar belakang yang harus mengimbangi sangat sulit dibuat, meskipun dengan label 20th Fox Century, entah mengapa. Ah, sedih sekali pokoknya. Terlalu banyak latar belakang yang menggunakan CGI dan terasa sangat mengganggu. Adegan pertarungan paling nice adalah ketika terjadi di sebuah set asli, dengan perspektif mata penonton yang luas dan mampu memperkirakan setiap kemungkinan yang akan datang, yang sangat minim dipakai pada film ini. Bila ingin dapat betul apa yang saya maksud, lagi-lagi, silakan melihat ilm Pendekar Tongkat Emas, yang menggunakan lansekap alam Sumba secara maksimal, meskipun Eros Efilin tetap membangun set artistik yang rumit dan bermodal. Sementara Wiro Sableng lebih sering menggunakan greenscreen atau pengambilan gambar pada set-set yang entah mengapa terlihat sangat tertutup dan terbatas, sekalipun itu adalah pertarungan di dalam hutan. Lagi-lagi upaya CGI film ini tetap harus diapresiasi, meskipun adegan di pohon yang kemudian jatuh itu sudah benar-benar turut menjatuhkan harapan besar saya pada film ini. Ah, sekecewa itu saya. Bila disuruh memilih, saya akan memberi tepuk tangan lebih panjang pada film Banfkit! (2016) yang bahkan upayanya dengan banyaknya efek khusus hanya membuahkan nominasi, tanpa berhasil menambat hati dewan juri FFI. Entah mengapa Angga tidak mengganti setting yang lebih bijaksana untuk digunakan, atau memperbaiki skenario agar lebih mudah diekseskusi. Sepertinya dia sendiri punya rasa penasaran, "bagaimana jika scene ini dan ini diambil dengan greenscreen?". Dan mungkin dia juga sama-sama kecewa berat sama seperti orang-orang yang menonton CGI sableng itu.
Secara keseluruhan, film ini tetap layak dinikmati bagi siapa saja termasuk yang belum paham tentang Wiro Sableng. Tetap ada banyak amanat yang bisa tersaring, terutama ilmu berimajinasi, karena hal apa saja bisa terjadi.

Leave a Comment