JakMuseum

Setahun lebih saya menjadi penduduk Jakarta, setahun pula saya setia untuk mencari cari, apa yang sebenarnya menarik dari Ibukota yang semestinya mampu menggambarkan negara secara keseluruhan ini hingga secara elok menyematkan branding #EnjoyJakarta. Sampai akhirnya berbulan-bulan yang lalu, ketika saya harus menjemput teman saya dari luar Jakarta yang di Stasiun Gambir, saya melewati sebuah bangunan tersembunyi dibalik pohon-pohon Jalan Merdeka Barat yang seketika itu juga membuat saya tertegun. Museum? Sumpah Pemuda? Sebuah museum di tengah perkotaan? It’s cool, man, bagaimana saya tidak tahu soal ini? Maksudnya, bukankah museum di tengah kota itu bukankah hal yang keren? Anda seperti sedang berada di Eropa.

Data Kunjungan Wisatawan ke Obyek Wisata Unggulan Tahun 2015 yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik Jakarta. Dari 8 obyek wisata yang ditampilkan, ada 3 nama Museum yang yaitu Museum Sejarah Jakarta yang dikunjungi 535.144 orang, Museum Nasional 266.359 orang dan Museum Satria Mandala 49.964 orang. Cukup sedih bila kita sandingkan dengan data yang telah dihimpun Kompas, bahwa The Louvre di Perancis didapuk menjadi museum dengan pengunjung terbanyak pada 2015 sebanyak 8,7 juta pengunjung, disusul The National Museum of China sebanyak 7,3 juta. Bagaimana bisa terjadi kesenjangan yang cukup jauh, padahal museum-museum di Jakarta kebanyakan juga berada di tengah kota dan sekali lagi, it was cool. Terutama Museum Nasional yang mana di negara-negara lain selalu menjadi tujuan wisata utama di Ibukota Jakarta.

Berangkat dari modal ini, akhirnya saya dan beberapa teman mencoba sendiri pengalaman yang kami sebut dengan “Mini Tour de JakMuseum”. Kami memulai dari dua museum yang menjadi unggulan bagi Jakarta, Museum Nasional dan Museum Sejarah Jakarta di Kota Tua. Untuk ke sana, kami menjatuhkan pilihan pada TransJakarta, kemudian disambung dengan Bus Tingkat City Tour yang gratis di Halte Istiqlal! Bus ini sangat nyaman dan tentu saja memfasilitasi wisatawan dengan cukup baik karena memiliki rute yang menjangkau obyek-obyek wisata menarik di Jakarta, termasuk dengan tersedianya halte Museum Nasional. Selain itu juga adalah halte TransJakarta reguler bagi wisatawan yang sulit menjangkau halte bus city tour.

Halte TransJakarta tepat di depan Museum Nasional (Dokumen pribadi)

Harga tiket masuk Museum Nasional sangat terjangkau, sebesar 5.000 Rupiah saja. Sayangnya, sedang dilakukan renovasi di beberapa gedung saat saya berkunjung, sehingga saya hanya berkesempatan untuk masuk ke dalam Gedung Arca. Tapi seperti yang saya duga, Museum Nasional sangat berkelas dan jauh dari pesona kantuk dan membosankan yang kerap diidentikkan dengan Museum. Ruangan ber-AC yang sejuk, lampu-lampu temaram yang menerangi kotak-kotak kaca berisi barang pajangan yang eksotis, dan eskalator yang modern, adalah kesan-kesan pertama yang muncul.

Suasana lantai pertama Museum Nasional (Dokumen Pribadi)

                Secara keseluruhan, Gedung Arca Museum Nasional memiliki 4 lantai di mana tiap laintainya menghimpun koleks-koleksi dengan tema yang berbeda, seperti Sosial Budaya, Teknologi, atau Pra-Sejarah. Mengunjungi museum membuat kita seperti memasuki portal dunia paralel, membiarkan kita melihat langsung benda-benda yang hadir dari berbagai lapisan ruang dan waktu. Hm, menarik!

                Penataan koleksi di salah satu lantai di dalam Museum Nasional (Dokumen Pribadi)

                Sebenarnya ada lagi satu museum yang tak cukup jauh dari Museum Nasinoal, cukup dengan berjalan kaki di trotoar sambil menikmati suasana Jalan Museum dan Jalan Abdul Muis yang dipenuhi pepohonan rimbun, yaitu Museum Taman Prasasti. Sayangnya saat itu Museum ini sudah tutup karena hanya dibuka sampai pukul 15.00 WIB. Tapi tak apa, kali ini kita masih punya kesempatan untuk mengunjungi Museum Sejarah Jakarta atau yang dikenal dengan Museum Fatahillah. Akomodasi menuju kompleks Kota Tua juga tidak sulit, bisa menggunakan bus City Tour, TransJakarta, ataupun Commuter Line lewat Stasiun Jakarta Kota.

                Museum ini memiliki bangunan bernuansa Belanda, karena gedungnya dahulu digunakan Balaikota Batavia. Koleksi yang ditawarkan tentu saja benda-benda yang berkaitan dengan sejarah Jakarta, betawi serta arkeologi sisa kerajaan Tarumanegara dan Padjajaran. Yang menarik di sini adalah Museum Sejarah Jakarta tidak berdiri sendiri, melainkan bersama-sama dengan Museum Wayang, Museum Bank Indonesia, Museum Bang Mandiri, Museum Seni Rupa dan Keramik, serta berbagai museum lainnya berdiri mengelilingi kompleks Kota Tua Jakarta.

Museum Sejarah Jakarta (Dokumen Pribadi)

                Dari uraian panjang tersebut dapat terlihat jelas bahwa dari jenis koleksi, fasilitas, kenyamanan dan akomodasi tentu saja pengelola Museum sudah bukan lagi main-main. Mungkin yang perlu dilakukan adalah menunjukkan jaringan yang kuat antar museum, saling mempromosikan, memperkenalkan dan menunjukkan bahwa Jakarta, ternyata memiliki lebih-kurang 38 museum menurut laman www.museumjakarta.com.

Akan sangat tepat bila pemerintah Jakarta memiliki event khusus yang digelar annually berupa wisata berkeliling museum-museum yang lebih banyak dan belum cukup tereksplorasi di Jakarta, dengan tajuk yang menarik. Misalnya “Tour de JakMuseum”. Mungkin event ini bisa dikombinasi dengan kegiatan kompetisi atau kuis mencari jejak di museum-museum yang menjadi destinasi dalam tur tersebut. Tentunya hal ini akan menarik kalangan millennial yang menyukai hal-hal baru dan menantang. Selain itu, dengan kegiatan mencari jejak tentu akan membuat setiap pesertanya memahami koleksi yang dimiliki dari museum-museum tersebut, sehingga mereka mendapatkan lebih banyak informasi dan pengetahuan berkualitas dalam #EnjoyJakMuseum sebagai bagian dari #JakartaTourism.

Salam #EnjoyJakarta #EnjoyJakMuseum #JakartaTourism



Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.