Kedai Kopi Pangkal Pulang Pagi


Kepulangan, sampai saat ini, menjadi perihal yang maknanya paling susah saya uraikan. Tadinya, kembali ke kota kecil yang membesar-kecilkan lingkar perut saya ini tanpa memandang lama-tidaknya waktu, sudah masuk dalam klasifikasi kepulangan. Tapi ternyata, makna dari kata pulang lebih daripada yang saya kenal, atau mungkin kalian juga. Tapi, persetan dengan semuanya. Intinya, liburan tahun baru kali ini saya habiskan banyak waktu saya di Kendal, ratusan kilometer dari Jakarta.

Seperti biasa, cara saya menghabiskan waktu di Kendal bisa sangat berbeda dengan di Jakarta. Toh ini, sudah tiga hari di Kendal, dan sebuah bucket list berisi tugas-tugas yang harus saya kerjakan baru tercentang beberapa, dari sekian banyak. Tentu saja. Menyelesaikan daftar senonoh itu bukan tujuan kenapa saya harus di Kendal akhir tahun ini. Tapi setelah dipikir beberapa kali, memang tidak ada suatu alasan yang mengharuskan. Aneh sekali.

Semalam, saya dan beberapa teman lama (tentunya teman-teman SMA) nongkrong tanpa rencana. Di awal malam, saya sedang makan malam menemani kakak saya--dan suaminya, dan anak pertamanya, dan anak keduanya--di sebuah tempat makan nyentrik. Serba pink, serba imut, serba anak muda. Tapi saya--dan mungkin kebanyakan teman-teman saya--yang benar-benar muda bahkan tidak pernah makan di sana. Tapi, treatment yang mereka berikan oke, kok. Pantas saja, pengunjung yang mereka berhasil gaet lumayan ramai. Di tengah-tengah makan, grup chat kelas saat SMA ribut membahas 'mau ke mana kita malam ini?'. Tidakkah kalian tahu, kumpul bersama mereka seperti meluruhkan beban pikiran yang rasanya selama ini sulit sekali lepas dari kepala?

Saya minta salah seorang teman menjemput di mana saya sedang makan malam, dengan konsekuensi main tidak membawa motor. Baiklah, saya berpisah dengan kakak, dan bersiap menyambut sisa malam dengan teman-teman. Banyak detail proses dari setiap pertemuan dengan mereka--teman-teman SMA--yang saya selalu nikmati prosesnya. Sesederhana ribut menentukan akan kemana, atau sesepele mengatur tempat duduk di dalam mobil agar semua orang bisa masuk. Akhirnya, kami berenam memutuskan nongkrong di sebuah kedai kopi di daerah Kaliwungu. Bukan kedai baru, katanya, tapi cukup asing bagi saya yang jarang menyambangi Kendal. Harganya cukup mampu mengimbangi kedai kopi lainnya di Kendal yang mulai menjamur. Mengimabngi dalam hal kemahalannya, meskipun harga-harga itu sangat amat biasa saja di Jakarta, atau bahkan bisa saja membuat beberapa orang bahkan melontarkan kalimat paling penuh kedigdayaan "kok murah ya?" yang membuat barisan ekonomi menengah tak habis pikir. Kendal sudah mulai terbiasa dengan ini. Beruntungnya, saya memang tidak memiliki hubungan yang baik dengan kopi--dan bukan berarti kai punya hubungan buruk--sehingga yang langsung saya  cetuskan untuk saya tulis di daftar pesanan adalah: air mineral yang kucinta, pujaan hatiku, tempat ayah dan bunda dan handai tolanku.

Mari kita mulai. Kami duduk di barisan pojok, dengan kursi dan meja kayu ditambah beberapa bantal busa. Alur pembicaraan kami menaik-turunkan emosi dan mental. Membicarakan permasalahan asmara manusia dewasa yang semakin kompleks, tatanan kehidupan, pundi-pundi perekonomian, segalanya. Dari topik dangkal yang membuat sekujur tubuh menggelinjang setiap kali membicarakannya, sampai topik serius yang bikin migrain--tentu saja saya tak terlalu terlibat dalam topik semacam ini. Pukul setengah sebelas, kedai tersebut menutup pesanan dan kami dipersilakan pindah ke beranda. Keracauan kami berlanjut sampai sekitar setengah satu pagi. Sampai rumah, saya meminta teman-teman saya untuk menunggu, memastikan saya bisa masuk karena kalau tidak, cukup gila untuk menghabiskan waktu dini hari di teras rumah yang rasanya makin asing itu. Setelah memastikan bahwa saya tidak bisa masuk, saya kemudian membersamai teman-teman untuk menginap di salah satu rumah teman saya. Lucunya, di tengah jalan Ibu menelpon dan bertanya kenapa saya tadi tidak masuk? Hah? Karena sudah cukup jauh dari rumah, Ibu menidak-apa-apakan aku untuk tidur di rumah teman. 

Setelah membeli dua bungkus nasi goreng, kami empat orang yang tersisa menghabiskan sisa tenaga yang ada membicarakan hal-hal sekenanya di rumah salah satu teman kami. Sampai sekitar pukul setengah tiga pagi, saya tidur duluan. Jam lima-an terbangun dan sholat subuh, kemudian tidur lagi. 

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.