[Review] Hari Ini Kita Cerita Tentang NKCTHI
Akhir-akhir tahun 2019, rasa penasaran yang saya miliki habis terkuras oleh banyaknya teaser film Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (NKCTHI) karya sutradara Visinema Pictures, Angga Dwimas Sasongko. Sebelumnya, saya tidak pernah membaca buku yang film ini adaptasi, dengan judul sama. Saya juga paling pusing dengan kalimat-kalimat motivasional, yang menjadi satu-satunya konten dari bukunya. Tapi begitu melihat sinopsis film ini: jancuk, kenapa jadi film saudara--yang sangat amat jarang diangkat menjadi dasar plot film Indonesia--dan keluarga. Maka berikut ulasan saya, untuk NKCTHI (2020).
Menonton NKCTHI adalah sebuah perjalanan memahami kehidupan Keluarga Narendra, dengan Ayah, Ibu dan tiga orang anak, yang mapan dan berkecukupan. Bahagia. Membuat orang-orang di dalam lingkaran sosial setiap anggota keluarga itu berpendapat: keluarga ini harmonis sekali. Angga Dwimas Sasongko dan Jenny Jusuf menorehkan kombinasi terbaik mereka dalam hal merubah sebuah buku berisikan kalimat-kalimat pendek puitis bermakna sangat general, menjadi sebuah cerita yang sebenarnya sangat panjang. Namun ibarat karpet, Angga dan Jenny seperti menggulungnya, membuat cerita sepanjang itu menjadi sebuah tumpuk konflik yang saling berhimpit menjadi lapisan-lapisan tak terhingga. Dampaknya adalah, setiap konflik berjalan sebagai konflik utama dalam durasi yang sangat singkat, namun disambut kehadiran konflik baru lainnya yang memimpin barisan ketegangan, dengan masih menghargai konflik yang pada bagian sebelumnya menjadi konflik utama. Pusing. Awan (Rachel Amanda, Alleyra Fakhira) sebagai anak bungsu, adalah karakter yang muncul dalam Buku NKCTHI, sebagai si penulis semua kalimat-kalimat dalam buku NKCTHI yang akan diterbangkan lewat pesawat kertas untuk Anaknya di tahun 2047. Sementara Angkasa (Rio Dewanto, Sinyo Riza, M. Adhiyat) si anak pertama, Aurora (Sheila Dara, Nayla Purnama, Syaqilla) si anak tengah bersama Ayah Narendra (Donny Damara, Oka Antara) dan Ibu (Susan Bacthiar, Nicken Anjani), serta Kale dan Lika, adalah anggota-nggota semesta Awan yang diciptakan Angga, Jenny, serta Anggia Kharisma si produser.
Kita dipaksa membangun pemahaman yang sulit bahkan dari detik pertama film dimulai, ketika sebuah pesawat kertas terbang lama di langit, kemudian jatuh di sebuah rumah futuristik yang didalamnya ada tokoh yang tidak pernah dikenalkan selama film ini melakukan promosi dan pengenalan karakter. Kita dipaksa bertanya dan diam, seperti: duduk dan kami akan menjawabnya satu per satu. Teknik yang digunakan adalah lorong waktu. Kita diajak bersama-sama memahami bagaimana keluarga ini menanggapi sebuah kejadian di tahun 2019, 1998, serta awal dekade 2000-an. Angga melakukan eksekusi skenario ini di kursi sutradara dengan sangat baik. Tidak ada lompatan masa yang mengganggu. Semuanya berjalan mulus.
Cerita yang kemudian ditumpahkan NKCTHI benar-benar bermain dengan emosi. Setelah saya pikir-pikir, bagian setengah awal film ini dibangun begitu lambat dengan konflik-konflik sederhana yang timbul tenggelam, bertujuan agar kita dihinggapi sedikit rasa bosan dan perasaan sudah cukup mengenal Keluarga Narendra yang 'ternyata hanya begini'. Kita dibuat percaya diri beranggapan bahwa konflik yang dihadapi Keluarga Narendra ternyata tidak semenggelegar yang diharapkan. Kita dibuat lupa bahwa di awal film, ada sebuah sinyal emosi besar saat si Ibu hendak melahirkan, atau pergelutan besar di ruang keluarga yang muncul di trailer. Yang menarik, rangkaian utama film ini ternyata berporos pada runtun waktu menghadapi pameran Aurora, yang tidak banyak dibahas bahkan oleh keluarga itu sendiri. Cerita film ini dibuat bergerak maju menuju titik waktu pameran Aurora digelar yang dibuat kabur oleh kejadian-kejadian kecil yang menambah kamus kejadian keluarga Narendra di kepala penonton. Sampai akhirnya, bagian dari pertengahan menuju akhir film, kita dilibas dengan semua hal yang selama ini kita luputkan, yang berkombinasi dengan hal-hal baru yang menjadi perhatian. Konflik utama film ini dibangun dengan dashyat, dengan lapisan konflik yang tebal. Penonton dipaksa berempati kepada banyak karakter, merasakan kesedihan secara kompleks dan memahami sesuatu secara runtut. NKCTHI adalah yang terbaik dalam hal ini, sejauh ini.
Angga Dwimas Sasongko, satu-satunya dalam sejarah FFI, sebagai sutradara yang tidak dinominasikan sebagai sutradara terbaik, namun filmnya meraih Piala Citra Film Terbaik, kali ini menginjakkan kaki pada pijakan baru, yang cukup jauh dibandingkan karya terakhirnya di Wiro Sableng. Angga kembali memasangkan label pada dirinya sendiri, sebagai salah satu pemegang kasta tertinggi dalang pewayangan drama emosional--setelah Beta Maluku si Film Terbaik yang dimaksud sebelumnya dan Surat dari Praha yang sayang sekali tidak banyak dilirik penonton bioskop. Angga berhasil memaksa penonton, untuk menentukan, kepada siapa ia akan berempati, mencaci maki, dan kemudian kebingungan. NKCTHI adalah pembaharuan emosi dari Surat dari Praha yang saya kira adalah label terakhirnya.
Saya setuju dengan review penulis mojok yang menyatakan bahwa film ini menjelaskan tentang salah satu jenis pola asuh, yang kebanyakan dipakai. Tapi saya kurang setuju dengan bagian dari judul yang menyatakan bahwa ini adalah pola asuh orang kaya. Keluarga saya juga punya tiga orang anak, dengan kondisi perekonomian memiliki volatilitas tinggi. Namun saya tegaskan bahwa pola asuh yang ditunjukkan film ini tetap sangat amat relevan. Mungkin saya tidak bisa terikat secara personal pada kasus di antar jemput setiap harinya menggunakan mobil oleh kakak, atau melihat saudara menggelar sebuah pameran instalasi seni tunggal, atau mendapat pekerjaan karena Ayah punya link besar dengan tokoh berpengaruh. Semua itu hanya bentuk implementasi dari sebuah prinsip. Yang berusaha diraih film ini ada rasa terkait penonton dengan si prinsip. Saya punya hubungan yang kuat tentang pengambilan keputusan dalam kehidupan pribadi anak bungsu yang harus dirundingkan satu keluarga. Anak kedua dan ketiga dipaksa mendengar perundingan ini meskipun tidak mau--digambarkan pada pertengkaran saat Ayah memarahi Awan yang pulang malam dan keributan itu terdengar sampai bengkel Aurora. Aatau mungkin keterkaitan dengan perasaan begitu dipeluk oleh anak pertama--yang punya kehidupan sendiri, dan kurang dekat dengan anak kedua hanya karena dia merasa tidak berhak dan memilih mengerjakan semuanya sendiri.
Setiap karakter dalam film ini dibuat gamang dalam mengambil kesimpulan perasaan: Aurora yang tidak tahu harus menyalahkan siapa atas pamerannya, Awan yang merasa dirinya paling bersalah di Pameran Aurora tapi di satu sisi ada perasaan dia juga ingin seperti Aurora yang bahkan bisa punya pameran sendiri. Pergolakan Angkasa, kebungkaman Ibu. Kebingungan Lika (pacar empat tahun Angkasa) sampai keberanian Kale (teman dekat Awan, manajer band kenalan Angkasa) mengambil tindakan di akhir percakapan di kosnya bersama Awan, menunjukkan bahwa setiap karakter di film ini berdiri pada pijakan keyakinan yang kabur. Film ini berusaha meyakinkan kepada penonton bahwa tidak ada yang salah dengan prinsip hidup Kale. Tapi film ini berusaha menujukkan bahwa kita, sekalipun hanya seorang pemeran pendukung di kehidupan orang lain, dapat memberikan dampak yang dahsyat dan memporak-porandakan kehidupan bahkan keluarganya. Setiap pemeran lulus kriteria ketuntasan minimal dalam menyampaikannya. Permainan terbaik mungkin dimahkotakan pada Sheila Dara, Nayla Purnama dan Donny Damara. Aurora dan Ayah masing-masing berhasil mendapatkan empati dan ke-illfeel-an maksimal dari penonton. Aurora--dan anak kedua lainnya di muka bumi ini--mendapatkan paling banyak empati karena penonton merasa baru sama-sama dibukakan matanya lewat film ini. Tapi, lagi-lagi Angga dan Jenny ingin film ini tidak memberikan keputusan hakim bahwa ada pihak yang bersalah, termasuk pada si Ayah. Kerasnya, kakunya dan sebegitu mengaturnya Ayah, ia lakukan sebagai manifestasi dari jati diri manusia yang sebenarnya: lemah. Dari semua karakter yang ada, Ayah adalah yang paling cemen dan penakut. Ayah memaksa mengamankan satu keluarganya padahal dirinya sendiri tidak pernah merasa aman. Tapi bagian di akhir film justru menimbulkan empati kepada si Ayah. Sehingga penonton sebagai hakim yang sebelumnya sudah turut mendiamkan Ayah seperti si Ibu saat ditanya apa kurangnya Ayah, pada akhirnya mampu menerima dengan baik Ayah sebagai korban dari sebuah rasa takut--yang juga kemudian Ibu jelaskan ke anak-anaknya. Teruntuk komisi FFI 2020, selamat berbingung ria menentukan batasan pemeran utama dan pendukung di film ini. Mereka semua adalah pemeran utama yang paling bersinar dalam kehidupan mereka masing-masing.
Dalam ranah teknis, film ini luar biasa. Sinematografi hasil kerja Yadi Sugandi tetap paling gila. Movement dan placement dari kamera Yadi menjadi sangat eksploratif di NKCTHI. Pantulan di langit-langit beranda Kantor Awan, tangkapan kekecawan Aurora dari luar bengkelnya, atau pergeseran sudut pandang ke Lika saat di dalam mobil Angkasa. Rasanya ingin salim dengan Yadi Sugandi yang sudah jadi dewa dalam perguruan ini sejak Laskar Pelangi. Skoring musik tak perlu ditanyakan. Peletakan lagu Secukupnya karya Hindia adalah yang terbaik--pada waktu paling meregang emosi. Lagu Rehat yang dihabiskan di adegan awal film mengajak kita meluruhkan semua beban sebelum menonton film ini. Ternyata adalah Ofel Obaja dibalik semua kepiawaian ini, yang juga bekerja baik di film Terlalu Tampan. Penataan busana yang detail dan konsisten--motif bergaris pada Awan dan warna dark-soft pada Aurora. Serta efek visual yang tentunya selalu menjadi perhatian Visinema Pictures. Rumah masa depan di tahun 2047 di awal dan akhir bagian film ini, termasuk peralihannya ke rumah tahun 1998 Keluarga Narendra, serta pesawat kertas. Film ini mungkin sudah berhak mengisi banyak slot nominasi di FFI, Piala Maya atau FFB. Satu-satunya bagian mengecewakan dari film ini adalah penataan sura yang agak berantakan di beberapa bagian. Dubbing-an yang kurang rapi, dan suara bertumpuk yang kadang mengganggu. Serta range suara yang terkadang terlalu rendah atau kencang. Karena seperti itulah sulitnya menemukan kesempurnaan, seperti pada sebuah keluarga. Tapi, mari menerima!
Film ini berhasil menunjukkan kekuatan asosiasi, sebuah hubungan, sebuah perasaan yang sama.
Kita dipaksa membangun pemahaman yang sulit bahkan dari detik pertama film dimulai, ketika sebuah pesawat kertas terbang lama di langit, kemudian jatuh di sebuah rumah futuristik yang didalamnya ada tokoh yang tidak pernah dikenalkan selama film ini melakukan promosi dan pengenalan karakter. Kita dipaksa bertanya dan diam, seperti: duduk dan kami akan menjawabnya satu per satu. Teknik yang digunakan adalah lorong waktu. Kita diajak bersama-sama memahami bagaimana keluarga ini menanggapi sebuah kejadian di tahun 2019, 1998, serta awal dekade 2000-an. Angga melakukan eksekusi skenario ini di kursi sutradara dengan sangat baik. Tidak ada lompatan masa yang mengganggu. Semuanya berjalan mulus.
Cerita yang kemudian ditumpahkan NKCTHI benar-benar bermain dengan emosi. Setelah saya pikir-pikir, bagian setengah awal film ini dibangun begitu lambat dengan konflik-konflik sederhana yang timbul tenggelam, bertujuan agar kita dihinggapi sedikit rasa bosan dan perasaan sudah cukup mengenal Keluarga Narendra yang 'ternyata hanya begini'. Kita dibuat percaya diri beranggapan bahwa konflik yang dihadapi Keluarga Narendra ternyata tidak semenggelegar yang diharapkan. Kita dibuat lupa bahwa di awal film, ada sebuah sinyal emosi besar saat si Ibu hendak melahirkan, atau pergelutan besar di ruang keluarga yang muncul di trailer. Yang menarik, rangkaian utama film ini ternyata berporos pada runtun waktu menghadapi pameran Aurora, yang tidak banyak dibahas bahkan oleh keluarga itu sendiri. Cerita film ini dibuat bergerak maju menuju titik waktu pameran Aurora digelar yang dibuat kabur oleh kejadian-kejadian kecil yang menambah kamus kejadian keluarga Narendra di kepala penonton. Sampai akhirnya, bagian dari pertengahan menuju akhir film, kita dilibas dengan semua hal yang selama ini kita luputkan, yang berkombinasi dengan hal-hal baru yang menjadi perhatian. Konflik utama film ini dibangun dengan dashyat, dengan lapisan konflik yang tebal. Penonton dipaksa berempati kepada banyak karakter, merasakan kesedihan secara kompleks dan memahami sesuatu secara runtut. NKCTHI adalah yang terbaik dalam hal ini, sejauh ini.
Angga Dwimas Sasongko, satu-satunya dalam sejarah FFI, sebagai sutradara yang tidak dinominasikan sebagai sutradara terbaik, namun filmnya meraih Piala Citra Film Terbaik, kali ini menginjakkan kaki pada pijakan baru, yang cukup jauh dibandingkan karya terakhirnya di Wiro Sableng. Angga kembali memasangkan label pada dirinya sendiri, sebagai salah satu pemegang kasta tertinggi dalang pewayangan drama emosional--setelah Beta Maluku si Film Terbaik yang dimaksud sebelumnya dan Surat dari Praha yang sayang sekali tidak banyak dilirik penonton bioskop. Angga berhasil memaksa penonton, untuk menentukan, kepada siapa ia akan berempati, mencaci maki, dan kemudian kebingungan. NKCTHI adalah pembaharuan emosi dari Surat dari Praha yang saya kira adalah label terakhirnya.
Saya setuju dengan review penulis mojok yang menyatakan bahwa film ini menjelaskan tentang salah satu jenis pola asuh, yang kebanyakan dipakai. Tapi saya kurang setuju dengan bagian dari judul yang menyatakan bahwa ini adalah pola asuh orang kaya. Keluarga saya juga punya tiga orang anak, dengan kondisi perekonomian memiliki volatilitas tinggi. Namun saya tegaskan bahwa pola asuh yang ditunjukkan film ini tetap sangat amat relevan. Mungkin saya tidak bisa terikat secara personal pada kasus di antar jemput setiap harinya menggunakan mobil oleh kakak, atau melihat saudara menggelar sebuah pameran instalasi seni tunggal, atau mendapat pekerjaan karena Ayah punya link besar dengan tokoh berpengaruh. Semua itu hanya bentuk implementasi dari sebuah prinsip. Yang berusaha diraih film ini ada rasa terkait penonton dengan si prinsip. Saya punya hubungan yang kuat tentang pengambilan keputusan dalam kehidupan pribadi anak bungsu yang harus dirundingkan satu keluarga. Anak kedua dan ketiga dipaksa mendengar perundingan ini meskipun tidak mau--digambarkan pada pertengkaran saat Ayah memarahi Awan yang pulang malam dan keributan itu terdengar sampai bengkel Aurora. Aatau mungkin keterkaitan dengan perasaan begitu dipeluk oleh anak pertama--yang punya kehidupan sendiri, dan kurang dekat dengan anak kedua hanya karena dia merasa tidak berhak dan memilih mengerjakan semuanya sendiri.
Setiap karakter dalam film ini dibuat gamang dalam mengambil kesimpulan perasaan: Aurora yang tidak tahu harus menyalahkan siapa atas pamerannya, Awan yang merasa dirinya paling bersalah di Pameran Aurora tapi di satu sisi ada perasaan dia juga ingin seperti Aurora yang bahkan bisa punya pameran sendiri. Pergolakan Angkasa, kebungkaman Ibu. Kebingungan Lika (pacar empat tahun Angkasa) sampai keberanian Kale (teman dekat Awan, manajer band kenalan Angkasa) mengambil tindakan di akhir percakapan di kosnya bersama Awan, menunjukkan bahwa setiap karakter di film ini berdiri pada pijakan keyakinan yang kabur. Film ini berusaha meyakinkan kepada penonton bahwa tidak ada yang salah dengan prinsip hidup Kale. Tapi film ini berusaha menujukkan bahwa kita, sekalipun hanya seorang pemeran pendukung di kehidupan orang lain, dapat memberikan dampak yang dahsyat dan memporak-porandakan kehidupan bahkan keluarganya. Setiap pemeran lulus kriteria ketuntasan minimal dalam menyampaikannya. Permainan terbaik mungkin dimahkotakan pada Sheila Dara, Nayla Purnama dan Donny Damara. Aurora dan Ayah masing-masing berhasil mendapatkan empati dan ke-illfeel-an maksimal dari penonton. Aurora--dan anak kedua lainnya di muka bumi ini--mendapatkan paling banyak empati karena penonton merasa baru sama-sama dibukakan matanya lewat film ini. Tapi, lagi-lagi Angga dan Jenny ingin film ini tidak memberikan keputusan hakim bahwa ada pihak yang bersalah, termasuk pada si Ayah. Kerasnya, kakunya dan sebegitu mengaturnya Ayah, ia lakukan sebagai manifestasi dari jati diri manusia yang sebenarnya: lemah. Dari semua karakter yang ada, Ayah adalah yang paling cemen dan penakut. Ayah memaksa mengamankan satu keluarganya padahal dirinya sendiri tidak pernah merasa aman. Tapi bagian di akhir film justru menimbulkan empati kepada si Ayah. Sehingga penonton sebagai hakim yang sebelumnya sudah turut mendiamkan Ayah seperti si Ibu saat ditanya apa kurangnya Ayah, pada akhirnya mampu menerima dengan baik Ayah sebagai korban dari sebuah rasa takut--yang juga kemudian Ibu jelaskan ke anak-anaknya. Teruntuk komisi FFI 2020, selamat berbingung ria menentukan batasan pemeran utama dan pendukung di film ini. Mereka semua adalah pemeran utama yang paling bersinar dalam kehidupan mereka masing-masing.
Dalam ranah teknis, film ini luar biasa. Sinematografi hasil kerja Yadi Sugandi tetap paling gila. Movement dan placement dari kamera Yadi menjadi sangat eksploratif di NKCTHI. Pantulan di langit-langit beranda Kantor Awan, tangkapan kekecawan Aurora dari luar bengkelnya, atau pergeseran sudut pandang ke Lika saat di dalam mobil Angkasa. Rasanya ingin salim dengan Yadi Sugandi yang sudah jadi dewa dalam perguruan ini sejak Laskar Pelangi. Skoring musik tak perlu ditanyakan. Peletakan lagu Secukupnya karya Hindia adalah yang terbaik--pada waktu paling meregang emosi. Lagu Rehat yang dihabiskan di adegan awal film mengajak kita meluruhkan semua beban sebelum menonton film ini. Ternyata adalah Ofel Obaja dibalik semua kepiawaian ini, yang juga bekerja baik di film Terlalu Tampan. Penataan busana yang detail dan konsisten--motif bergaris pada Awan dan warna dark-soft pada Aurora. Serta efek visual yang tentunya selalu menjadi perhatian Visinema Pictures. Rumah masa depan di tahun 2047 di awal dan akhir bagian film ini, termasuk peralihannya ke rumah tahun 1998 Keluarga Narendra, serta pesawat kertas. Film ini mungkin sudah berhak mengisi banyak slot nominasi di FFI, Piala Maya atau FFB. Satu-satunya bagian mengecewakan dari film ini adalah penataan sura yang agak berantakan di beberapa bagian. Dubbing-an yang kurang rapi, dan suara bertumpuk yang kadang mengganggu. Serta range suara yang terkadang terlalu rendah atau kencang. Karena seperti itulah sulitnya menemukan kesempurnaan, seperti pada sebuah keluarga. Tapi, mari menerima!
Film ini berhasil menunjukkan kekuatan asosiasi, sebuah hubungan, sebuah perasaan yang sama.
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/3001664/original/054999600_1576824962-Poster_NKCTHI.jpg)
Leave a Comment