Lontong Soto di Tempat Penuh Darah


Beberapa hari yang lalu, saya dan beberapa teman saya melakukan sebuah perjalanan yang bagi saya adalah jenis perjalanan yang baru. Beberapa dari kami, sebenarnya sudah biasa menghadapi perjalanan semacam ini. Tapi bagi saya tidak.

Saat SMA saya menjadi koordinator acara dari rangkaian peringatan hari ulang tahun SMA. Saat itu ada belasan kegiatan yang digelar selama 3 bulan. Saya selalu berusaha untuk benar-benar turun ke lapangan saat kegiatan berlangsung titik, kecuali pada kegiatan donor darah. Saya tahu benar, kalau saya ada di sana, meskipun sebagai panitia, besar kemungkinan bagi saya untuk ikut mendonorkan darah. Ini yang aneh. Saya tidak takut darah, atau alergi bau darah, atau histeris tiap kali melihat jarum suntik. Tidak, sama sekali. Tapi entah mengapa, saya ya seperti resisten terhadap kegiatan donor darah. Saya selalu kabur atau berpura-pura sedang mengurusi sesuatu yang fiktif setiap kali mendapat panggilan ke ke lokasi donor darah. Aneh sekali memang. 

Tapi beberapa hari yang lalu, saya melakukan perjalanan tidak biasa menuju PMI Jakarta, untuk melakukan donor darah. Bukankah aneh? Kenapa kali ini saya justru menempuh perjalanan jauh-jauh untuk sesuatu yang dulu saya susah payah hindari? Beginilah hidup, teman-teman. Kita di pagi kemarin, bisa tumbuh dengan cepat bahkan di akhir hari kemarin. Bukan berubah. Saya lebih senang dengan kata tumbuh.

Awalnya sangat sepele, tapi berada pada waktu yang tepat. Saya selalu mengacuhkan setiap kampus mengadakan kegiatan donor darah. Padahal mungkin saat donor darah digelar, saya sedang membuang-buan waktu dengan mengotak-atik adobe premiere atau coreldraw. Tapi saat teman-teman kelas mengajak donor darah tempo waktu, saya malah sedang dirundung tenggat akan banyak hal. Tapi entah, rasanya begitu tepat, dan saya butuh. Sudah lama sepertinya, tidak merasakan pertama kali dalam suatu hal. 

Maka, saya melakukan perjalanan pagi itu, ditemani perasaan berdebar. Mirip dengan perasaan berdebar yang akhir tahun lalu muncul saat saya sedang melayat ke teman saya yang Ayahnya meninggal dunia. Meskipun substansinya berbada, tapi sepertinya dua rasa berdebar ini punya kemasan yang sama. Tidak apa-apa. 

Saya berkata jujur pada petugas awal, mengatakan bahwa saya tidak tahu benar apa golongan dari darah yang memenuhi pembuluh saya. Ibu-ibu muda itu kemudian tertawa kecil. Darah dari ujung telunjuk saya diambilnya, kemudian diapa-apakan pada sebuah kertas. Tak lama, beliau bilang bahwa golongan darah saya B. Saya lega bukan kepalang. Rasanya seperti saya berhasil meraih piala kemenangan yang selama ini sudah saya akui padahal belum ada pada saya. Bukan karena akhirnya saya tahu golongan darah saya di ukur 22 tahun. Bukan. Tapi lebih karena saya berhasil memalsukan sebuah ketidaktahuan menjadi kebenaran. Gologan darah di KTP saya isikan B saat usia 17 tahun, padahal saya tidak pernah tahu sebenarnya apa golongan darah saya. Luar biasa bukan?

Gedung PMI sangat bersih. Pegawai mereka sangat ramah. Dan, makanan gratis di kantin mereka luar biasa lezat. Iya, apapun yang gratis akan saya panggil lezat. Lontong soto, telur rebus, dan sedikit sambal. Susu cokelat panas, dan jus buah jambu dalam kemasan. Satu hal yang saya sayangkan, adalah donor darah baru bisa dilakukan lagi setelah 2 bulan. Benar! PMI akan rugi bandar kalau tiap orang bisa donor darah tiga kali sehari.

Sejak hari itu, saya baru tahu sesuatu bisa seberharga itu. Momen beberapa menit saat darah kita disedot juga tak kalah berharga. Ditambah mbak-mbak petugas yang cakep, saya akan menetapkan waktu berbarig di atas kursi tidur saat donor darah sebagai waktu paling menyenyakkan untuk kontemplasi diri, memikirkan yang tak pernah kita pikirkan. Melepaskan yang tak pernah kita lepaskan. 

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.