Gandos, Trotoar dan Malam


Malam hari kemarin saya menonton film horror Indonesia, Sebelum Iblis Menjemput Ayat 2 yang saya sangat tunggu karena ulasan beberapa orang terpercaya bilang kalau kebrutalan Timo--sang sutradara--dalam film ini gila-gilaan. Maka saya menontonlah film ini di hari pertama penayangannya. Sendirian--meskipun secara teknis ada beberapa teman saya yang menyusul, dengan orang asing di kanan-kiri bangku bioskop saya. Maka pengalaman ini begitu menyenangkan! Opening scene yang sudah cukup brutal mengantarkan saya pada perasaan girang sepanjang menonton. Mungkin ulasan lengkapnya akan saya tulis dalam tulisan berbeda di luar tulisan ini. Maka, secara tidak langaung tulisan ini kehilangan bahasan. Sebab yang menarik dari hari kemarin, hanya ada dua. Satu saat menonton film ini sampai pulang dan kami membeli Gandos di trotoar, memakannya di trotoar, menghabiskannya di trotoar dan membicarakan kehidupan teman kami pula di trotoar. Teman kami yang akan tetap menjadi teman kami. Satu lagi mengenai kebaikan manusia ciptaan yang Maha Baik.

Beberapa minggu ini, saya menggunakan alasan menunggu data untuk menunda-nunda melanjutkan perjalanan tugas akhir. Sesederhana itu. Tapi alasan kali ini nyata--bodoh sekali, memeperlihatkan tabiat sendiri bila sering menggunakan alasan fiktif. Benar sungguh-sungguh nyata. Maka orang yang saya hubungi lewat pesan di whatsapp, akhirnya merespon kemarin pagi. Pesan balasannya pendek, dengan lampiran foto. Sangat pendek sampai saat saya habis membacanya, saya belum selesai benar menyadari kalau orang ini sangat baik! Foto yang ia lampirkan adalah rekaman gambar sebuah kertas yang di atasnya dicetak tabel dan grafik berisikan angka-angka yang sangat saya butuhkan. Sementara pesan singkatnya menjelaskan situasi, alasan dan hal-hal yang menyebabkan angka-angka itu sedemikian adanya. Dengan kata lain, orang ini memberi saya bahan analisis untuk tugas akhir saya yang tidak saya minta!

MasyaAllah.

Dunia ini tidak akan kehabisan orang baik insya Allah. Jadi tidak usah pura-pura menjadi orang jahat. Iya, pura-pura. Sebab seburuk-buruk manusia, akan ada bagian--sekalipun itu sangat kecil sekali--dari dada mereka yang  merasakan ketidakbenaran itu. Sebab seharusnya tidak ada manusia yang terlahir untuk menjadi jahat.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.