Hujan Sepanjang Kamis Pagi


Malam ini, rasanya saya baru saja mencapai sesuatu yang luar biasa: tidur sebelum pukul 10 malam. Saya ingin banyak-banyak menepuk pundak sendiri penuh kebanggan. Ditambah, sekitar pukul 7 pagi hari ini, ditemani gerimis rintik yang melodramatik, saya tidur dan dibangunkan pukul 10 oleh alam. Terima kasih alam, masih mau membangunkan saya pagi ini sebab kalau tidak, akan ada banyak orang yang merugi karena begitu bangun saya ingat masih ada hutang nasi goreng dan nasi uduk di tempo hari. Setelah dua minggu juga, akhirnya saya membuka paling tidak salah satu file tugas akhir. Sungguh, saya ingin lebih banyak menyadari betapa luar biasanya diri ini karena masih mau membukanya barangkali cuma satu. Saya tahu ini hampir mustahil. Saya kira bahkan ini mustahil. 

Hari-hari dalam dua minggu terakhir mungkin menjadi beberapa yang akan selalu saya ingat sepanjang hidup saya. Saya juga hendak mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya pada mendiang Chrisye Guruh Sukarnoputra yang telah membuat lagu Sendiri. Juga kepada Mira Lesmana dan Riri Riza yang mengguakannya di film mereka. Sebab lagu ini menjadi satu-satunya udara yang memenuhi ruang gelap selama dua minggu terakhir. Saya hampir tak pernah membayangkan hal semacam ini terjadi lagi. Saya kira, seluruh manifestasi perasaan akan terkuras perihal tugas akhir, atau keributan akademik, atau hal-hal pribadi yang sifatnya problema kehidupan sosial sendiri. Tapi ternyata, Allah masih punya hal-hal yang kita tidak pernah sangka.

Sudah lama sekali rasanya melihat bangunan tua itu berdiri tenang diselimuti kabut pagi yang mendamaikan, dengan beberapa titik tembusan cahaya matahari yang menghangatkan. Meskipun saat mencoba mendekatinya, saya akan sadar bahwa ada banyak kawat di pagar dan pecahan kaca di halaman rumput yang tertutup kabut tipis berwarna abu-abu itu. Maka saya memilih memperhatikannya saja jauh-jauh. Memastikan semua yang didalamnya duduk tertawa menikmati hidangan seadanya, sambil mendengarkan musik lawas dari Radio tua yang akan mati hanya bila ia ingin. Sayangnya, baru saja sebuah angin menipiskan si kabut, dan menumbuhkan kesadaran bahwa saya adalah maunisa paling bodoh. Yang terlihat selama ini hanyalah apa-apa yang mata saya ingin lihat. Tidak ada rumput di balik kabut. Sepenuhnya pecahan kaca. Tidak ada pagar. Hanya ada deretan kawat mengelilingi halaman. Entitas liar bahkan sudah bersantai menempel pada dinding-dinding tanpa perlindungan. Sebagian atap rumah itu kehilangan genteng. Sehingga bila kita melihatnya dari tempat yang lebih tinggi, kita bisa melihat bagian lantai yang penuh barang-barang bernama masa lalu. Dan orang-orang di dalamnya, bahkan kosakata saya tidak bisa menggambarkannya. 

Dua minggu terakhir menjadi salah satu rentang waktu paling sering mata saya berair. Rasanya sudah lama sekali saya sukses menahannya. Saya merasa begitu berhasil mengatur produksinya di pusat sistem perasaan. Saya kira mesin pembuatnya sudah menjadi batu, sampai-sampai tidak ada lagi yang akan dihasilkan. Tapi akhir tahun lalu, kerak yang mematikan mesin itu terkelupas dengan sendirinya--sesuatu yang saya kira tidak mungkin. Dan dua minggu terakhir, mesin itu kembali bekerja dengan sangat baik. Sekali lagi sangat baik. Bahkan mesin ini berhasil memproduksi yang seharusnya dihasilkan saat mati. Sebuah kesalahan memang untuk sempat membuatnya tidak bekerja. Sehingga paling tidak, dari hari-hari dalam dua minggu terakhir, masih ada yang bisa kita syukuri: membuat mesin paling sakral itu kembali bekerja. 

Saya ingin meniupkan banyak maaf dari genggaman tangan seperti dendelion, dengan harapan angin akan membawanya sampai ke bangunan yang terlihat tidak baik-baik saja itu. Setiap kali seekor merpati terbang di atas tanah tempat saya berdiri dan menjatuhkan pesan kegembiraan, saya tahu semua itu hanya apa yang saya ingin lihat, dan apa yang saya ingi semua orang lihat dan pahami. Saya kira menjadi dewasa adalah memilih apa yang ingin kita rasakan. Tapi sepertinya saya terlalu banyak mengira-kira.

Rumah, kasih saya waktu lagi sampai saya siap dan bisa berbuat. Kabut, tetap di sana dan buat saya percaya bahwa semuanya akan baik-baik saja. Saya ingin sekali memeluk tanaman-tanaman kecil yang masih berdiri di antara tanah penuh pecahan kaca. Atau jendela yang masih menempel utuh pada kusennya. Atau dinding bagian dalam yang sama sekali tak sempoyongan. Saya belum punya tangan yang cukup panjang. Saya belum punya hidup yang cukup baik. Tapi kita sama-sama punya Allah. Saya yakin Beliau punya sesuatu yang bahkan kita belum bisa bayangkan.

Mata saya kembali berair tapi saya sadar satu-satunya yang saya punya adalah keterbatasan.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.