Lontong Pecel dan Langit Cerah


Semalam, saya pikir saya tidak akan makan malam karena malas sekali berjalan keluar membeli nasi goreng di pos ronda 200 meter dari kos--seperti malam-malam sebelumnya. Beberapa sirkel terdekat memang sudah mengakui rasa malas gerak saya sebagai salah satu yang paling ulung di dunia. Tapi saya bangga, sangat bangga. Karena dengan keterbatasan ini saya tetap bisa menjalani kehidupan sehari-hari dengan berbahagia--karena ketidakbahagiaan berada pada orang-orang di sekitar saya. Semoga istri saya esok hari menerima sifat saya yang satu ini, atau lebih baik kita berdua akan sama-sama menikmatinya.

Beruntungnya, satu teman saya ribut sekali semalam karena kelaparan--saya juga kelaparan tapi saya semalas itu. Akhirnya kami mencari ketoprak terdekat--sekitar 500 meter mungkin, yang ternyata tutup. Karena mengendarai sepeda motor, maka kami melanjutkan perjalanan dengan jangkauan yang lebih luas: ke Kebon Nanas di seberang jalan Otista Raya. Sialnya, ketoprak terdekat di seberang sana juga tutup. Beruntungnya, sebelum kami sampai di tempat ketoprak, ada sebuah gerobak yang menarik perhatian: penjual pecel. Bukan pecel lele, tapi pecel jawa dengan sayur mayur dan sambal kacang yang enak itu. Maka tanpa pikir panjang, kami alihkan semua perhatian padanya. Gerobak klasik, di atas sebuah jembatan jalan raya yang ramai dengan bintang-bintang di langit malam, bapak penjual pecel itu terlihat menikmati kedatangan kami. Menjelaskan dengan baik bahwa nasinya habis sehingga yang ada hanya lontong. Dalam benak saya: iya pak, malam ini saya juga sedang lebih mencari lontong daripada nasi. Satu porsi diberi harga 12.000 rupiah. Sedikit lebih mahal dari standard harga ketoprak di Kebon Sayur dan Kebon Nanas. Tapi tidak apa-apa, selalu ada harga untuk sesuatu yang berbeda. Sebab kapan lagi kita akan menemukan Lontong Pecel di atas jembatan yang mirip Pont Alexandre III itu? 

Kemudian saya menghabiskan sisa waktu semalam dengan hal-hal lumrah seperti: membiarkannya berlalu begitu saja tanpa menyadari apa yang sedang dilakukan. Saya lebih banyak berinteraksi dengan orang-orang lain semalam. Meskipun seharusnya saya lebih banyak berinteraksi dengan diri sendiri lewat penyelesaian tugas dan kewajiban. Tidak apa-apa juga. Menyenangkan juga.

Saya membenamkan diri dalam tidur sekitar pukul 2 pagi. Kemudian bangun pagi dengan penuh penyesalan seperti biasa, sebab melewatkan satu malam lagi tanpa progres pengerjaan tugas dan kewajiban. Maka hari ini saya berniat membalasnya. Ramalan cuaca tempo hari bilang kalau hari ini akan ada badai hujan berpetir, namun nyatanya sejak pagi langit begitu cerah. Teman-teman kontrakan giat menjemur pakaian mereka. Ini yang namanya ramalan. Ini yang namanya ilmu ketidakpastian. Ini yang namanya statistik. Ini, kenapa saya pelan-pelan kagum juga dengan statistik, beserta cerita dan orang-orang di dalamnya. Tapi yang perlu mendapat garis bawah bukan ini. Yang perlu dipikirkan kembali adalah, kenapa sudah hampir menyentuh tengah hari, namun tugas dan kewajiban belum ada yang tergapai. Iya, salah. Saya klarifikasi kalimatnya. Namun, belum ada kesungguhan dalam menggapai tugas dan kewajiban. Malah saya menulis semua ini. 

Tidak apa-apa. Dari banyak bagian dunia yang kita temui setiap detiknya, selalu ada bagian yang bisa kita syukuri, meskipun tidak semua bagian yang kita temui bisa kita syukuri.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.