Roti Srikaya, Pengkang, dan Pisang Goreng


Hari Minggu kemarin--baru saja, saya menggagalkan rencana saya sendiri untuk memunculkan segaria progres dalam lini waktu pengerjaan tugas akhir. Siang sejak pagi saya tidak banyak berbuat untuk peradaban. Sampai akhirnya saya mengirim pesan singkat ke grup whatsapp berisikan empat orang yang dibuat mungkin hampir empat tahun lalu. Tiga teman saya di dalam grup itu adalah teman-teman yang memberikan banyak pengalaman pertama kali saya selama menjalani di kehidupan Jakarta. 

Pesan pendek saya, tanpa diduga membuat dampak yang luar biasa masif. Kami memutuskan untuk bertemu di sisa hari itu, merayakan ulang tahun salah satu di antara kami yang jadi alasan saya mengirim pesan pendek ke grup itu. Takjubnya, ternyata omongan kita berbuah kenyataan. Padahal biasanya kami sama-sama malas bergerak--sesuai prinsip yang saya tanamkan pada mereka.

Maka, inilah perjalanan sore kami dua hari sebelum ujian tengah semester dan di tengah progres skripsi yang mampet.

Kami bertemu di sebuah tempat makan berpromo di pusat perbelanjaan di Kalibata. Saya membeli kaos kaki karena sepatu yang saya pakai melecetkan punggung jari-jari kaki saya yang bogem. Saya tidak memakai kaos kaki karena saya belum berpengalaman menggunakan sepatu yang satu ini--alias pertama kalinya. Kaos kaki itu berwarna biru dongker yoi seharga satu porsi ketoprak tambah lima ratus perak. Terjangkau! Kami menghabiskan jajanan yang promo itu, lalu berfoto dan kehabisan topik. Sampai akhirnya iseng membuka twitter dan mencari-cari yang menarik dari @drhaltekehalte. Maka bertemulah kami pada keputusan untuk menuju tempat di mana Roti Srikaya dan Choipan yang terkenal itu berada. Mungkin sekitar jam 5, kami langsung mencabutkan diri menuju Stasiun Duren Kalibata, menuju Stasiun Duri.

Sampai di Duri, tepat waktu Maghrib. Dan tanpa ada tujuan lain, kami langsung mencari di peta milik google di mana jajanan-jajanan itu berada. Dari Stasiun Duri, kami melewati gang perkampungan di sebelah Kantor Kelurahan Duri Utara. Sampai akhirnya tembus ke Krendang Raya dan warung-warung jajanan pinggir jalan mulai memenuhi pelupuk pandangan. Seru sekali. Kami berasa menjadi pemburu makanan yang ulung, padahal juga baru pertama mencari makanan sampai susah payah begini. 

Titik pertama yang kami temui adalah Choipan Manie, yang saya paling nantikan. Meskipun saya sedikit takut karena tidak ada halalnya--namun bahan yang digunakan bukan babi atau zat haram lainnya, saya begitu antusias dengan yang satu ini karena saya sudah membayangkan saat memakannya bertemu Mbak Aruna Rai yang cantik itu. Hehe. Tapi ternyata, choipannya habis. Sedih sekali, tapi mungkin ini cara Allah menyelamatkan keragu-raguan saya soal halal-haramnya.

Tapi Krendang Raya tak sependek bulu hidung--meskipun kata banyak orang bulu hidung sayang panjang sampai sering muncul ketika difoto. Kami jalan lagi mencari tujuan selanjutnya yaitu toko roti srikaya bernama Tet Fai yang ternyata letaknya di ujung. Puas sekali begitu sampai. Padahal makan juga belum. Ada tiga jenis roti yaitu goreng, panggang dan kukus yang kemudian diberi selai srikaya. Harganya 3.000 rupiah perbijinya. Tet Fai menerima transaksi lewat Ovo dan katanya ada potongan 30 persen. Sayangnya, saya udik sekali malam itu padahal ada saldo Ovo. Tak apa. Potongan 30 persen bukan jadi rezeki saya dan teman-teman. Karena letaknya paling ujung, maka setelah dari Tet Fai kami putar balik ke arah Stasiun Duri. 

Sepanjang perjalanan balik, barulah kami menengok banyaknya kedai jajanan yang lain. Ada pisang goreng pontianak yang sedang digoreng di wajan, kami langsung berhenti. Warnanya cokelat keemasan menggiurkan sekali, lengkap dengan kepulan asap samar-samar. Ada dua jenis pisang goreng yaitu yang besar dan kecil. Saya tidak bertanya jenisnya sebab tidak berusaha peduli seperti pengulas-pengulas makanan. Tapi intinya, yang besar 3.000 rupiah dan yang kecil tidak tahu karena tidak dijual per biji. Mereka menjual yang kecil per boks seharga 20.000 rupiah, atau 10.000 juga boleh, katanya. Maka kami coba membeli 10.000 yang ternyata mendapat lumayan banyak.

Terakhir, saya bilang ke teman-teman kalau kita harua mencari Pengkang. Maka pada sebuah warung berbagai macam jajanan pontianak--sepertinya, saya coba bertanya pada abang penjual. Ada! Tapi katanya isi ebi, bukan ayam. Dalam hati maka saya berbenak, bukankah pengkang di Pondok Pengkang yang ada di film Aruna dan Lidahnya justru memang berisikan ebi? Kalau ayam, maka lemper segitiga dong? Karena bukan orang Pontianak jadi saya hanya bisa iya-iya saja wakti penjualnya menjelaskan. 

Selanjutnya kami memilih menghabiskan semua yang kami beli di pinggir sungai samping Stasiun Duri. Nongkrong di tanggul sungai yang ternyata gemar banjir--setelah saya selancar di google. Untung malam itu tidak ada bau-bau sampah. Atau sebenernya bau, hanya saja kami sudah terlalu antusias menikmati jajan-jajan itu. Haha, entahlah. Kemudian kami benar-benar makan sambil ngobrol di sana, begitu lihai seperti sebagaimana anak-anak muda yang nongkrong di tanggul sungai.

Sebagai manusia dengan lidah tidak cakap merasakan makanan, alias mati rasa, alias semua makanan selama saya doyan akan saya bilang enak, alias entahlah, mungkin lidah saya memegang prinsip mager senagaimana saya, menurut saya, semuanya enak-enak saja--begitu tertebak. Roti srikaya yang empuk, pisang goreng pontianak yang krispi, dan pengkang ebi yang serupa lemper ada asin-asinnya. Semuanya enak.

Ditemani gerimis yang makin rama butirannya semakin besar, kami berlari kecil menuju stasiun Duri. Lumayan membuat kuyup, dan takut karena tiga diantara kami membawa laptop--termasuk saya--yang dipenuhi file-file tugas akhir hehehe. Maka, dengan ini selesailah perjalanan kami.

Saya hendak mengucapkan terima kasih pada mereka bertiga, teman-teman saya yang mau menjalin pertemanan tanpa tendensi. Pertemanan kami mungkin tidak kental dan rekat seperti orang-orang lain yang begitu rutin bertemu dan jalan. Atau mungkin pertemanan yang butuh banyak modal s-seperti.. tidak. Tidak jadi. Atau mungkin pertemanan yang banyak tuntutan keberadaan atau perasaan untuk tidak saling menyakiti berujung drama persahabatan bagai kepompong. Satu yang akan saya selalu ingat, tiga teman saya ini adalah orang-orang yang rela mengerjakan tugas kelompok bahkan tugas individu orang lain di dalam kelompok saat kami menjalani masa orientasi kuliah. Dan mau menjaga kehangatan pertemanan ini selama bertahun-tahun. Ini adalah alasan utama kenapa saya hormat sekali dengan mereka. 


Anu. Sebenarnya, kemarin juga jadi perayaan rambut saya yang sudah sampai berponi, sebab habis ini ada ujian tengah semester dan saya harus cukur supaya badge saya tidak diambil di tengah-tengah ujian. Hehe.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.