Kejadian Sabtu Pagi


Assalamu'alaikum warrahamtullahi wabarakatuh. Selamat pagi teman-teman yang membaca tulisan ini--yang mungking sampai saya tak lagi bisa menulis, saya tetap tidak tahu siapa saja yang membacanya. Kali ini, saya akan menuliskan tulisan ini secara eksplisit sejelas-jelasnya, jauh dari analogi dan kiasan sepeti biasanya. Karena kejadian yang saya alami juga terlampau jelas rasanya. Kejadian yang mungkin dalam waktu lama akan selalu saya jadikan pertanyaan pada Tuhan saya yang Maha Memberi segalanya, termasuk jawaban.

Pagi ini, saya tidur setelah sarapan. Buruk sekali, memang. Kemudian hanya sebentar saja, kemudian saya terbangun dalam posisi tubuh miring ke kanan. Yang saya rasakan, saya sudah benar-benar terbangun dari tidur secara nyata, saya sudah kembali ke dunia ini bersama kalian, meskipun entah mata saya terbuka atau tidak saat itu. Tiba-tiba saya mendengar suara ikan dimasukkan ke penggorengan dengan minyak yang sudah panas. Begitu suara khasnya mengeras, telinga saya seperti tidak kuat mendengarnya. Keduanya berdengung. Semakin lama semakin menutupi suara-suara lainnya.

Karena takut, saya berniat beranjak. Tapi, rasanya aneh. Badan ini tidak bergerak. Sama sekali. Saya berusaha menggerakannya untuk bangun. Tapi tak ada satupun bagian tubuh yang bergerak. Mungkin kesemutan? Saya rasakan bahwa tubuh lama-lama menghangat. Saya mulai semakin ketakutan, sungguh. Di sini saya juga mulai sadar bahwa mata ini ternyata masih mengatup sejak tadi ketika saya kira saya sudah bangun. Pelan-pelan saya hendak membuat gerakan-gerakan yang lebih kecil, tapi tetap tidak bisa. Saya mulai berpikiran yang aneh-aneh. Sampai akhirnya saya mulai menyadari satu hal. Gerakan udara di saluran pernafasan saya menghilang. Saya memaksa menarik nafas, tidak kunjung muncul. Semua udara seperti berhenti. Tidak besirkulasi. Saya masih bisa berpikir. Berdoa. Mencoba menerka. Artinya, otak masih bekerja, masih menerima pasukan oksigen.

Tiba-tiba, sisa udara tidak bergerak di saluran pernafasan, justru tertarik perlahan-perlahan dari paru-paru ke arah luar. Terasa mengaliri dada dan hendak ke leher. Iya, begitu lembut namun membuat sekrup-sekrup yang menempel pada tubuh seperti dilepas satu per satu. Dengung di telinga sudah saya lupakan. Yang terdengar adalah sepi. Upaya pergerakan juga sudah saya lupakan. Pada titik waktu ini, saya berusaha menyadari semuanya, bahwa saya tidak dapat melakukan apa-apa lagi. Saya berpasrah diri, dan mempertanyakan. Apakah ini rasanya? Apakah ini akhirnya? Maka bagaimana selanjutnya? Saya benar-benar mulai menikmati ketikan gerakan udara itu mencapai leher. Di tengkuk, leher bagian belakang. Udara itu seperti membersihkan organ-organ yang ia lewati.

Namun, tiba-tiba saja seperti ada tombol yang baru saja dipencet. Sendi-sendi dan tulang tiba-tiba dapat lagi saya rasakan. Dalam sekejap, udara melesat keluar, membuat saya menghembuskan nafas dan disambut tarikan baru. Udara itu kemudian bergerak di salurannya lagi sampai ke paru-paru. Mata saya buka, dan saya melihat dunia ini lagi, dunia di mana saya dipertemukan dengan kalian semua.

Saya tidak tahu apa yang terjadi. Mengapa ini terjadi. Termasuk mengapa akhirnya seperti ini. Saya kemudian menatap ke jendela yang tertutup korden cokelat. Rasanya, entah mengapa, begitu kompleks dan rumit. Ada banyak perasaan. Tapi ada satu yang menarik perhatian. Seperti, ada sedikit rasa yang mungkin masuk ke dalam kategori, menyesal? Entahlah. Kemudian saya menyalakan ponsel, dan melihat jam menunjukkan pukul 9.01 WIB. 

Beberapa saat kemudian, saya kebingungan mengenai perlu tidaknya saya menceritakan ini pada orang lain. Akhirnya saya menceritakan hal ini pada Ibu saya, dan beliau tertawa. Beliau juga mengatakan semuanya baik-baik saja. Saya menghargainya. Saya berjanji mulai hari ini saya akan menghargai setiap respon seseorang terhadap sesuatu. Termasuk respon saya sendiri terhadap hal yang terjadi pagi ini. Perasaan-perasaan ini, akan selalu saya hargai. Terutama kamu, si penyesalan. Meskipun saya juga tak kunjung menemukan penyebab rasa menyesal ini. Apakah kamu menyesali bagian akhirnya?

Apakah menurutmu seharusnya akhirnya tidak begini? 

Aih. Kalau akhirnya bukan begini, tentu tidak lahir tulisan ini. Maka janganlah begitu, sebab paling tidak saya butuh kesempatan untuk menuliskan tulisan ini. Saya mungkin butuh menceritakannya pada orang-orang terpilih yang terbawa takdirnya untuk membaca tulisan ini.

Satu lagi. Sampai saat ini, saya masih terus memikirkan apa yang akan terjadi pada saat saya tidur lagi.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.