Kampanye Keajaiban Dunia


Saya gemar sekali mengarang. Ini buruk sekali. Mendekatkan saya pada lebih banyak kebohongan. Bahkan kebohongan-kebohongan di hari kemarin, hampir semuanya, membuat satu-satunya hal yang tak bisa dimaafkan sampai sekarang adalah diri saya sendiri. Paling kesal pada kebohongan-kebohongan yang tidak perlu, tanpa orientasi, dan hasilnya hanya memperberat timbangan dosa. Kalau dipikir di waktu sekarang, saya benar-benar geli dan ingin rasanya menguliti setiap bagian dari masa lalu yang ditumbuhi kebohongan-kebohongan itu, yang bahkan untuk diceritakan kepada diri sendiri saja malu. Tapi, saya masih bersyukur sebab sekarang saya menyadarinya. Paling tidak, saya jadi punya alarm untuk jauh-jauh memberi jarak pada perilaku ini. InsyaAllah, pelan-pelan, sedikit-sedikit.

Saya gemar sekali mengarang. Tapi ini luar biasa baik sekali. Saya bisa memasuki dunia berisikan hal-hal yang tidak saya temui di dunia nyata, hal-hal yang tidak saya alami dalam interaksi sosial di dunia nyata, juga hal-hal yang saya tidak rasakan sebagai manusia di dunia nyata. Takdir mungkin tidak menempelkan saya pada hal-hal itu di dunia nyata, tapi di dunia yang satu ini, saya menciptakan takdir sendiri. Kadang--menurut pengakuan beberapa orang--saya bahkan terlalu jauh masuk ke dunia ini, dan kehilangan jalan untuk kembali ke dunia nyata, dalam penglihatan saya sendiri. Tapi, bagi mereka yang baik-baik saja di dunia nyata, melihat tubuh saya di dunia nyata jadi macam orang gila. Dunia ini, dikenal kebanyakan orang sebagai: Dunia imajinasi. Dunia mimpi. Dunia khayalan dan dongeng dalam kitab sajo kalau kata Buya Hamka. Bayangkan, saya pernah mengajak teman sekelas tujuh sekolah menengah pertama, untuk membuat kampanye membentuk 7 keajaiban dunia Indonesia--saat itu sedang ramai-ramainya kampanye New 7 Wonders yang mendiskreditkan daftar 7 keajaiban dunia versi UNESCO, alias, Borobudur tak lagi dapat tempat. Maka bukankah saya sudah menjadi pemilik organisasi nirlaba yang hidup berorientasikan wawasan soal antropologi dan sejarah kehidupan manusia? Ya, begitulah. Sakit? Iya, teman-teman saya juga bilang begitu--meskipun pada akhirnya mereka juga turut serta dalam kampanye dengan mengisi formulir untuk voting. Bayangkan lagi, di akhir sekolah dasar sampai sekolah menengah pertama, bahkan kadang-kadang sampai sekarang, saya gemar sekali membuat turnamen multievent--serupa Olimpiade, Asian Games, Sea Games atau PON--imajiner lewat Microsoft Excel. Saya membuat sebuah turnamen multievent antar kecamatan di Kendal, yang mempertandingkan cabang-cabang olahraga olimpiade yang tidak mungkin di pertandingkan di sini, di dunia nayata. Saya membangun stadion standar olimpiade untuk kecamatan-kecamatan yang menjadi tuan rumah. Saya melaksanakan minimal nomor standar pada setiap cabang olahraga. Saya melakukan kualifikasi sehingga tidak setiap kecamatan bisa tampil di putaran final. Saya mentabulasi medali. Saya menentukan tuan rumah edisi selanjutnya lewat proses penawaran tuan rumah. Saya juga menggelar piala sepak bola antar kecamatan beserta konfederasi regional di dalamnya. Saya mengarsipkan semua file-file itu di harddisk yang kadang masih saya buka sampai sekarang. Menertawakan betapa luasnya dunia yang saya sudah sempat masuki. Yang saya tuliskan, adalah yang lolos kriteria ketuntasan minimal untuk mencapai kategori tidak cukup memalukan karena terlampau imajiner. Kadang saya merasa teman-teman saya mendapat kemewahan untuk menjadi saksi atas bahan-bahan untuk menertawakan saya di hari-hari besok.

Saya gemar sekali mengarang. Sehingga saya punya lebih banyak kesempatan untuk mempertemukan dunia nyata dan dunia karangan. Titik temu ini membawa banyak pengalaman di dunia nyata saya, sekaligus memperluas dunia non-nyata saya. Senang sekali rasanya bila melihat dua dunia ini berdamai, dan menyatakan bahwa mereka sepakat untuk mengambil bagian masing-masing secara adil. Saya ikut lomba menulis saat sekolah dasar dan menengah pertama, sampai kemudian menyadari bahwa pintu masuk ke dunia ini bukan hanya kalimat-kalimat memusingkan, tapi juga suara, gambar, bentuk-bentuk lainnya, atau bahkan kombinasi semuanya. Di akhir sekolah menengah pertama, saya dan teman-teman membuat film pendek pertama dalam peradaban hidup saya untuk sebuah tugas akhir pelajaran teknologi informatika. Beberapa tahun setelah film itu saya kumpulkan, adik teman saya bercerita bahwa gurunya, yang juga guru saya, masih menayangkan film pendek itu di kelasnya, sebagai contoh bentuk yang bisa dibuat untuk tugas akhir. Saya masih belum bisa menemukan rasa bangga yang sepadan dengan bangga sesederhana ini. Titik temu dua dunia ini, sekali lagi luar biasa.

Saya gemar sekali mengarang, sampai sekarang. Saya sangat senang setiap kali harus bertemu dengan pintu-pintu dunia itu, apalagi isinya. Sebab memang saya bisa membuat hanya hal-hal menyenangkan saja yang ada di dalamnya.

Namun, setelah cukup banyak berpikir, sepertinya benar juga, bahwa dunia ini hanya tempat saya memanifestasikan apa yang saya alami, rasakan dan temui di dunia nyata. Saya tidak cukup berani menghadapi dunia nyata. Saya tidak cukup tangguh membuat sesuatu yang nyata. Setelah cukup banyak berpikir, sepertinya saya bukan sedang memasuki dunia berisi tokoh-tokoh dengan penyelesaian permasalahan yang epic, tapi yang ada hanya saya yang sedang kebingungan menghadapi permasalahan dunia nyata yang sepertinya tak punya penyelesaian. Yang paling terakhir, saya berhasil masuk ke dunia di mana ada seseorang yang tidak cukup berani menunjukkan yang tidak tampak pada dirinya, bertemu dengan seseorang yang hanya percaya pada hal-hal yang tampak, atau bersuara, atau berbentuk, atau apapun yang pancaindranya bisa terima. Bukankah artinya keduanya adalah ujung jarum utara dan selatan pada kompas yang saling membelakangi? Tapi keduanya baik-baik saja di dunia itu. Keduanya bersalaman dengan baik kepada takdir.

Iya. Saya mengunjungi dunia karangan, karena rasanya tak pernah siap dikunjungi kenyataan. Meskipun nyatanya kenyataan sudah mengunjungi saya, bahwa tidak akan pernah cukup menjadi sesuatu yang hanya mengandalkan percaya diri bahwa seseorang di seberang sana akan selalu menerima limpahan hal-hal yang tidak tampak.

Omong-omong bodo amat lah ini harusnya saya sudah mendapat model untuk analisis teks hasil scraping untuk bahan tugas akhir tapi setengah jam nongkrong di sini. Iya, di sini, sedang mengunjungi dunia karangan, karena tak siap melihat hasil modelnya.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.