[Review] Sepucuk Lemari dalam Lemantun


Boleh dibilang, dunia film pendek adalah bagian dari semesta perfilman yang satu langkah besar lebih dekat dengan yang disebut kesederhanaan. Film pendek selalu punya cara untuk membawa hal-hal besar lewat kendaraan yang sederhana. Juga bahan bakar yang sederhana. Perlengkapan berkendara yang sederhana. Dan doa perjalanan yang juga, sangat, sederhana. Wregas Bhanuteja adalah sutradara film pendek Indonesia yang memenangkan salah satu kelas kompetisi di Cannes, penghargaan film pendek paling lokal-arif sedunia. Filmnya berjudul Prenjak, yang juga memang arif dan bijaksana. Sayangnya, saya kurang begitu nyaman, dan suka--ini perspektif dan sah-sah saja. Ada bagian-bagian saru yang saya rasa, bisa tersampaikan dengan cara yang lebih baik dan ramah. Namun saya hanya terganggu dengan Prenjak. Jauh sebelum itu, saya sudah menemukan harta karun bernama "Lemantun".  Film Pendek buatan Wregas saat ia masih menjadi mahasiswa perfilman IKJ. Saya melihat video dokumenter proses pembuatan film Lemantun di youtube sebelum saya mengenal Prenjak, dan saya seperti melihat bagaimana kehidupan dibuat. Kesederhaan yang rumit, dan keseimbangan yang pahit, dan bentuk-bentuk kenyataan yang lain.

Selama bertahun-tahun, saya hanya melihat dari jauh si Lemantun. Saya hanya mendengar cerita orang tentangnya. Saya hanya lamat-lamat dalam samar melihatnya dari awal ia berjalan ke atas panggung, sampai merangkak menuruni tangga panggung. Saya tahu ini film keluarga. Sedikit banyak plot sudah terbaca. Tapi selama bertahun-tahun itu ada satu hal penting yang membuat Lemantun masih ada di meja--tak sampai disimpan di lemari--arsip kepala saya, adalah pesan. Saya bertanya, apa yang akan disampaikan Wregas tentang sesuatu yang buat orang lain, tak lebih dari lemari. Bagaimana Wregas membawa lemari menjadi kendaraan sederhana itu?

Hari ini, ada takdir yang membolehkan saya untuk bertemu lemari-lemari itu. Ada lima lemari dalam Lemantun, yang akan kita temui. Masing-masing lemari itu akan dibagikan kepada lima bersaudara yang kesemuanya sudah dewasa--usia berkeluarga. Ibu mereka, menganggapnya sebagai warisan yang harus mereka bawa ke tempat tinggal mereka sekarang. Sederhana bukan? Iya. Lemari, beserta fungsinya yang biasa-biasa saja itu sendiri juga bentuk kesederhanaan. Lemari-lemari itu juga dibagi dengan menggunakan metode random sampling yang saya pelajari di kampus. Tidak ada pembobot. Kelima lemari itu dianggap bernilai sama. Secara materi maupun moral. Kelima lemari itu adalah sama. Ukuran, nilai guna, nilai estetika, umur dan kekokohannya, semuanya dianggap sama.

Saya menonton film ini diselimuti perasaan gelisah dan kalut sejak pertengahan film. Saat penata musik baru bekerja menaburkan skoring yang begitu sederhana, dan, mendamaikan. Film ini seperti mengantarkan sepucuk lemari berisikan pengalaman ke dalam kepala saya. Saya terlalu percaya diri menganggap lemari tidak akan pernah punya nilai di mata semua orang--sampai saya bertanya mengapa Wregas membuat Lemantun. Tapi tidak. Film ini justru membuat saya harus menerima, bahwa perihal-perihal yang berjabatan dengan lemari, bisa jadi adalah bagian hidup yang sekeras apapun kita hendak menghapus ingatan soalnya, hasilnya sia-sia.

Seperti lemari kayu jati tua yang akan selalu saya ingat bentuknya itu. Lemari yang harus mengorbankan diri karena beberapa orang memilih untuk menjualnya--saking-sakingnya tidak ada yang lagi dapat dijual waktu itu--pada tetangganya. Lemari yang jadi salah satu tempat paling nyaman untuk saya bersembunyi. Setelah menonton Lemantun, saya kembali mengingatnya, mempertanyakan kabarnya, memikirkan bagaimana nilainya di mata orang-orang yang saat ini menggunakannya. Waktu itu, lemari dengan beberapa stiker menempel itu jadi titik kesadaran saya bahwa orang-orang yang menjualnya tidak sedang baik-baik saja. Juga kalimat awal dari pesan panjang yang saat ini masih dikirimkan ke saya, bahwa kehidupan bukan soal pilihan, tetapi jalan. Kehidupan satu-satunya jalan buat kita untuk menemukan yang selama ini kita mungkin tanyakan, yaitu akhir--dan kembali. Rasanya aneh, saat saya masih bisa melihat dari dekat, meraba dan bahkan mengendus lemari itu yang bukan lagi milik keluarga saya, karena tetangga menaruhnya di ruang keluarga rumahnya, tempat saya biasa menumpang menonton televisi bersama anak-anak mereka.

Bukan salah kita, bila tak ada lagi jalan aspal yang bisa kita lewati.
Pun bukan pula salah kita, bila sampai akhirnya nanti, memang tidak ada aspal dari seluruh bagian jalan yang telah kita lewat.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.