Wessel dan Toko Roti

Siang hari kemarin, saya mengunjung kantor pos untuk yang ke beberapa kalinya. Saya yakin hanya sedikit kali saya ke sana, dan mungkin semuanya karena alasan-alasan serius. Meskipun saya mengikuti akun media sosial kantor pos untuk alasan-alasan yang tidak jelas--sebab saya lebih memilih menggunakan ekspedisi pengiriman lain bila hendak mengirim barang seperti biasanya. Jadi, saya selalu membawa alasan-alasan tidak biasa untuk tiba di kantor pos, mungkin seperti halnya saya mengikuti akun media mereka. Saya cukup bersedih melihat bagaimana komplain dan laporan negatif tentang kinerja kantor pos yang dikirimkan ke media sosial itu. Padahal menurut saya, kantor pos selalu bekerja dengan baik dan penuh arti, terutama dalam menjalin beberapa bagian takdir seseorang, dan membuat saya masih menyimpan nomor antrian tahun 2016 itu. 

Siang hari kemarin, Ibu saya tiba-tiba mengajak saya ke kantor pos. Katanya hendak mengirim wesel. Menarik sekali bukan? Sejak masuk pintu bangunan tua yang tak bernah mengalami perubahan besar itu, ibu saya sudah uring-uringan sebab harus susah payah menggunakan wesel yang mungkin lebih banyak digunakan beberapa dekade lalu. Meskipun ibu saya tidak punya akunrekening bank, biasanya ia akan melakukan transaksi keuangan dengan meminjam akun rekening saya atau anaknya yang lain lewat ATM. Tapi kali ini, orang yang bertransaksi dengannya juga tak punya akun rekening. Klasik sekali bukan? Maka sebaliknya, saya mengisi formulir wesel yang serba manual itu dengan antusias. Pembicaraan mengenai langkah-langkah transaksi dengan satpam, mengisi formulir di sebuah meja berdiri, mengantri di kursi ruangan kantor pos dengan lantai putih tulang yang menenangkan, dan berinteraksi dengan petugas pelayanan--yang kebanyakan isinya menanyakan kembali informasi yang sudah jelas-jelas saya tulis di formulir. Proses dan perjalanan ini tidak akan ditemui bila uang itu dikirim menggunakan rekening bank lewat ATM. Wesel membuat kemunculan interaksi-interaksi organik dalam pertemuan dengan orang asing yang kita tak kenal tanpa pretensi.

Tapi mengapa tidak semua pertemuan ditakdirkan berjalan dalam interaksi yang organik seperti ini? Mengaturnya untuk selalu berjalan organik, sepertinya justru menjadi bagian paling tidak organik.

Saat memberikan uang lusuh ibu saya ke petugas pelayanan, tiba-tiba muncul pertanyaan yang pada akhirnya mungkin juga tak pernah saya tanyakan pada petugas-petugas itu: apakah uang yang diterima oleh si tujuan adalah uang ibu saya yang lusuh itu? Atau uang lain dengan jumlah yang sama dalam bentuk yang lebih baik? Atau malah yang lebih buruk? Jika jawabannya benar-benar uang ibu saya yang lusuh itu, maka saya sangat menyesal karena tak sempat mengucapkan hati-hati padanya, karena akam ada perjalanan cukup panjang yang akan ia lewati. Tapi setelah saya pikir-pikir, ucapan saya mungkin tak ada artinya karena uang itu sudah punya perjalanan yang lebih panjang sebelum ini.

Siang hari kemarin, setelah dari kantor pos, saya juga mengantar ibu membeli abon di toko roti. Iya, toko roti ini selalu jadi tempat pertamanya mencari abon. Sayangnya, siang kemarin mereka kehabisan stok. Saat saya hendak menyalakan mesin motor, tiba-tiba ibu memanggil seorang ibu-ibu yang lewat di depan toko roti itu. Mereka--ibu saya dan ibu itu--kemudian saling mengrnali dan menyapa satu sama lain. Mereka menanyakan kabar, alamat tempat tinggal sekarang, dan mulai bicara hal-hal yang saya tidak mengerti. Mereka sesekali tertawa, dan melebarkan ranah perbincangan. Saya menunggu di atas motor sambi menahan rasa heran yang seharusnya tidak muncul karena ini hal biasa. Saat mengantar ibu ke manapun--termasuk ke beberapa kota selain kendal, bukan hal jarang untuk bertemu dengan seseorang yang ia kenal tapi saya tak kenal, sampai akhirnya mereka membicarakan hal-hal yang saya tidak pahami. Penuh gestur dan mimik, meskipun sambil berdiri di atas trotoar yang berdebu dan panas. Mereka akan tampak menikmati pertemuan insidental itu. Hal yang mungkin kecil sekali kemungkinannya terjadi pada saya, yang selama ini memilih menghindari pertemuan dengan orang-orang yang saya kenal di tempat umum secara insidental, dengan alasan yang sampai sekarang masih saya cari. Bukan, saya tidak akan mengklaim bahwa saya seorang introvert akut karena itu juga tidak memperjelas situasi. Tapi saya lebih senang terhadap pertemuan insidental dengan orang asing yang akan berjalan terasa lebih organik, dan membuahkan interkasi seperlunya.


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.