[Review] Film Biopik yang Epik: Habibie & Ainun


Optimisme dan rasa bangga adalah lapisan paling mendasar dari film Habibie & Ainun. Film biopik mengenai Presiden ketiga Republik Indonesia, B. J. Habibie dan istrinya, Hasri Ainun Habibie ini telah ditonton 4,6 juta kali di bioskop (filmindonesia.or.id). Tak hanya sukses di pasar komersial, film ini dinominasikan dalam 7 kategori pada Festival Film Indonesia 2013 termasuk film terbaik, yang mana tiga diantaranya berhasil memenangkan Piala Citra. Premis utama film ini adalah dinamika perjalanan Habibie dan Ainun sebagai pasangan, sejak mereka tumbuh di satu sekolah dan berpisah karena Habibie harus berkuliah di Jerman, kemudian bertemu kembali ketika dewasa, menikah, hingga akhirnya Ainun meninggal dunia.

Skenario ditulis dengan begitu runtut dengan kemunculan intrik-intrik selingan yang menarik, seperti ketidaktahuan orang-orang asing pada negara Indonesia. Gina S. Noer dan Ifan Adriansyah menjalin setiap babak cerita dengan baik, meskipun beberapa bagian terasa terlalu cepat dan kehilangan alasan, terutama pertemuan kembali Habibie dan Ainun dewasa yang langsung sama-sama jatuh hati. Mungkin memang film ini ingin lebih banyak menampilkan kehidupan setelah keduanya menikah. Pembagian babak film ini juga sangat baik dan membuat penonton tertahan untuk tetap menonton film ini hingga akhir. Secara sederhana, bagian pertengahan awal flm ini menonjolkan Habibie dan ambisi-ambisi di pundaknya, hingga kemudian cakrawala perhatian bergeser pada Ainun sebagai seorang istri kepala negara yang sangat suportif sekaligus seorang wanita yang harus menghadapi penyakit kanker ovarium.

Dialog-dialog yang digunakan terasa sangat teatrikal namun begitu menarik dan jauh dari kata membosankan. Sumbangsih Reza Rahadian yang memerankan Habibie tentu bermain cukup banyak. Upayanya untuk menjelma menjadi seorang B. J. Habibie menjadi memorabilia lainnya dari film ini sampai sekarang. Bukan tidak mungkin gestur dan cara bicara Habibie yang ikonik ini akan menjadi sesuatu yang mengganggu bila jatuh kepada aktor lain. Maka tak heran, ia memenangkan Piala Citra untuk Pemeran Utama Pria Terbaik atas penampilannya dalam film ini. Sementara Bunga Citra Lestari tak menghadirkan spesial dalam perannya sebagai Ainun, meskipun tak juga mengecewakan. Membuat dialog-dialognya tidak terasa aneh atau timpang dalam percakapannya dengan Habibie itu sudah pencapaian.

Kembali pada optimisme, film ini dikerjakan dengan banyak rasa semangat dalam banyak hal. Pengambilan gambar secara langsung di Jerman. Meskipun lansekap kota tak terlalu banyak ditampilkan, namun rasanya upaya ini tak sia-sia untuk menghadirkan suasana nyata. Hanya saja peluang besar ini belum banyak dimanfaatkan pada divisi sinematografi. Satu yang perlu ditandai adalah tata efek spesial yang terasa mengganggu pada beberapa bagian film—terutama pada bagian emosional. Bagian teknis lain yang cukup menjadi perhatian adalah penyuntingan gambar. Pemilihan tone warna dan nuansa film ini sangat tepat dan memanjakan mata.

Habibie & Ainun patut menjadi rujukan bagi perkembangan film biopik Indonesia yang selama ini sepi pasar karena stereotype yang berkembang akan nuansa kelas pelajaran sejarah yang membosankan dan monoton. Namun, Faozan Rizal di kursi sutradara berhasil memilih segmen yang tepat dari kehidupan tokoh untuk diangkat ke dalam film yang menarik lebih banyak kalangan. Hasilnya, Habibie & Ainun tidak hanya mendapat banyak penghargaan, namun juga berhasil menjadi salah satu film terlaris sepanjang masa Indonesia hingga sekarang.

#ulasfilmkemdikbud
@kemdikbud.ri, @budayasaya@pusbangfilm

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.