Jakarta Tiga Hari


Tulisan ini ditulis dengan badan dan sendi dalam kondisi pegal dan linu. Membayangkan kursi pijat di mall-mall rasanya nikmat sekali. Iya, cukup membayangkannya saja sudah nikmat, dan lebih dari cukup. Pegal dan linu kali ini disponsori oleh perjalanan 800an kilometer dalam 3 hari terakhir. Jumat lalu saya ke Jakarta, dan hari Minggu ini saya sudah kembali dari Jakarta. Dua malam terakhir saya tidur di kasur, kamar dan rumah yang sudah empat bulan tak saya sambangi. Rasanya begitu tak terdeskripsi. Malam pertama saya hampir terbangun setiap jam ketika tidur. Seperti tak ada rasa-rasa istirahatnya. Padahal apabila mengacu pada kondisi pada umumnya, tidur paling nikmat adalah tidur setrlah perjalanan jauh dan panjang. 

Jakarta tak banyak berbeda, selain atmosfer melodramatis karena tak akan lagi sering menghiasi pandangan mata. Entah barangtentu tiga hari ini adalah tiga hari perpisahan dengan Jakarta? Bukan perpisahan untuk tak menemaninya tumbuh bersama lagi--karena kedatangan-kedatangan selanjutnya hanya sebuah kunjungan sesaat, bukan seperti kunjungan selama hampir empat tahun terakhir ini. Tiga hari ini juga, saya hanya bertemu Jakarta pada bagian-bagian itu saja. Karena pandemi, dan banyak keterbatasan lainnya. Padahal harusnya--kalau memang ini sebuah perpisahan--ada lebih banyak prosesi yang dilakukan. Seperti berjalan di trotoar larut malam yang bukan main menyenangkan.

Saya meninggalkan Jakarta hanya dengan buah tangan mencakup: Satu koper sedang, kardus besar dan tas ransel besar yang semuanya penuh berisikan barang dan kenangan secukupnya. Membawanya dengan selamat ke Kendal, ternyata tidak semudah itu. Kenangan-kenangan itu bisa saja enggan meninggalkan asal tempatnya diciptakan, dan memilih berlarian di tengah jalan. Tapi yang saya bawa dalam perjalanan kali ini sepertinya kenangan-kenangan penurut.

Terima kasih saya ucapkan pada teman-teman yang membolehkan saya turut serta dalam perjalanan ini. Sebab bila tidak, mungkin cerita tentang perjalanan ini akan berbeda. Mungkin tidak ada rangkaian acara duduk-duduk sambil bercengkrama di beberapa rest area. Mungkin tidak ada kegiatan mencatat km jalan yang bergelombang. Mungkin tidak ada foto-foto kampus yang apabila saya lihat-lihat lagi sekarang, perasaan melodramatis itu mengikuti. Mungkin tidak ada rasa pegal dan linu yang lebih melegakan dari ini. Sampai bertemu kembali, Jakarta, jika dan hanya jika sesuatu bernama kesempatan masih mau mengenal saya.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.