Rabu Kelabu


Kalau tidak salah ingat, saya pernah menuliskan hal ini pada salah satu tulisan saya yang sebelumnya:

Tidak semua bagian dari kehidupan ini bisa kita syukuri. Namun, akan selalu ada bagian yang bisa kita syukuri. Dan ada sudah lebih dari cukup.

Setiap kali saya hendak mengumpat apa-apa saja yang datang, menghampiri, menyulut satu-dua titik api, sampai pada akhirnya membakar habis sisa perasaan baik, saya mengandalkan tiga kalimat itu. Kalimat pertama yang membesarkan api, kalimat kedua yang menghujam api dengan begitu spektakuler--meskipun tak sepenuhnya padam, dan kalimat ketiga yang begitu istimewa: menumpahkan air dalam bentuk gelombang dahsyat.

Hari ini hari rabu, dan kata yang paling tepat untuk menggambarkan hari ini adalah kelabu. Tidak ada yang lebih tepat. Bahkan kalimat sebelum kalimat ini juga kelabu. Samar-samar. Kalimat-kalimat yang saya ucapkan, keputusan-keputusan yang terpikirkan, keyakinan-keyakinan yang saya pegang, semuanya sempat menjadi kelabu, paling tidak bagi saya sendiri. Saya tak banyak tahu, yang ada hanya ragu. Tak ada yang bisa dipadu, semuanya seperti kerikil dan batu, Keras, tak dapat dicerna dengan baik, mengganjal. Tapi semuanya tetap berguna, sebab mereka kuat, tak mudah lapuk dan hancur, juga konsisten. Rabu ini benar-benar kelabu. Semua kalimat-kalimat yang saya tulispun begitu kelabu. Perasaanmupun tetap kelabu. Apakah kamu begitu menikmati malam saya yang kelabu? Atau kamu hanya menikmati waktu-waktumu yang masih senggang tanpa pengganggu?

Pertanyaan pada penghujung paragraf tadi adalah contoh situasi yang tepat untuk mengeluarkan tiga kalimat andalan. Dan ya, begitu saja hidupku berjalan.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.