Pasar Apung Lok Baintan


Melewat tahun pertama di Kalimantan dengan dua tulisan saja. Tidak produktif di blog bisa menjadi indikasi saya lebih produktif di aspek lain di kehidupan ini. Sayangnya, indikasi tak selalu sama dengan realisasi. Tidak sedikit juga yang hanya hasil olahan fiksi. Omong-omong soal fiksi, saya juga tidak produktif dalam menulis fiksi. Padahal, fiksi adalah ranang penting untuk menjaga fleksibilitas hidup. Daya pikir yang terlalu realistis karena tak pernah menjamah dunia fiksi akan sangat mengencangkan kepala, setiap kali terjadi hal-hal di luar rencana. Dunia yang ada di pikiran kita adalah dunia yang berjalan seperti seharusnya, sehingga bila ada satu saja pilar-pilarnya yang roboh, dan atap tidak roboh, logika tidak bisa menerimanya. Pusing. Tidak terima. Menyalahkan takdir yang berjalan. Bila kita mengenal sedikit saja dunia fiksi, rasanya apa-apa yang terjadi di dunia nyata, akan lebih besar penerimaannya, karena setelah dipikir-pikir kembali, fiksi dan nyata tak ada sekatnya. Semuanya adalah hak tuhan untuk dihadirkan di antara kita, yang fiksi dan yang nyata.

Omong-omong soal tahun pertama, saya lebih serang naik perahu klothok ke Pasar Apung Lok Baintan yang terkenal itu daripada nulis di sini. Sampai-sampai saat terakhir kali sana ke sanabelum sampai sebulan yang lalusaya kehilangan rasa takjub. Dulu, saya terheran-terheran, bagaimana kebanyakan pedagang yang seorang Ibu itu menyiapkan sampan-sampan mereka hingga penuh barang dagangan, bagaimana mereka akan mengemudikan sampan sekaligus berpantun menjajakan dagangan, bagaimana bisa orang dulu menemukan metode berdagang seperti ini, serta bagaimana-bagaimana yang lain. Saat mengunjunginya untuk ketiga kali, saya tak terlalu terpesona dengan kesibukkan mereka. Mungkin kali ini bukan salah pedagang-pedagang pasar itu, atau Sungai Martapura, atau pemerintah daerah yang gagal menjaga antusiasme pengunjung pada setiap kali kedatangannya. Mungkin turis yang saya temani yang menjadi penyebabnya, yang menarik semua hasrat dan antusiasme saya dalam perjalanan ini. Saking antusiasnya, saya sempat mau meninggalkan jejak di kapal klothok yang kami tumpangi, mungkin seperti sejoli di foto yang saya lampirkan dalam tulisan ini. Teruntuk Eka dan Lastri, semoga hari-hari kalian semakin berseri!

Tapi, duduk di atas klothok menyusuri Sungai Martapura selama 45 menit tetap jadi juara sebagai momen refleksi. Angin yang menerpa rambut di dahi dengan begitu lembut, seperti membangunkan kita bahwa riak di sungai itu takkan pernah ada habisnya. Malah kadang pasang dan meninggi, namun selalu ada saja saatnya surut. Orang-orang tetap bisa mencuci bahkan menyikat gigi-gigi mereka. Saat gelombang terlalu tinggi dan menggoyangkan rumah mereka di bibir sungai, peluit akan disemprit kencang-kencang, memberi sinyal para pengemudi kapal untuk mengurangi kecepatan agar tak memperbesar gelombang yang masuk ke rumah-rumah. Mereka para pengemudi akan paham dan mengendurkan kerja mesin. Kompromi adalah cara terbaik mengakhiri segmen cerita. Kehidupan juga takkan pernah kehilangan riaknya. Manusia hanya berenang, mengikuti arus dan pasang-surutnya. Bila gelombang terlalu tinggi, kita juga dampat meniupkan doa sekencang-kencangnya, bak peluit. Bila tak juga terdengar suara mesin masalah yang mulai mengendur, sepertinya bukan gelombang yang terlalu tinggi, tapi rumah kita yang sepertinya perlu dibangun lebih tinggi, dengan kaki-kaki kayu galam yang lebih kuat.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.